Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekedar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya. Mohon do'akan kami semoga selalu istiqomah dalam kebaikan Perajurit Saba: April 2015

Minggu, 05 April 2015

Al imam As syafi'i

     Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:

     Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu,

 Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu 

     Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.

     Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya.

     Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.

     Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz. Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).

     Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian beliau unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu-buru menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”

     Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)

Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu

     DiKota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.

     Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah.

     Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.

     Pada usia dua puluh sekian tahun, -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)

Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat 

     Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:

Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:

Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”

Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”

Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”

Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”

Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”

Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”

Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”

Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”

Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:

Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”

Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”

Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”

Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”

Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

     Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:

     “Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”

     “Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

     Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya dan Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

     Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”

     Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)

     Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya  serta prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyahradhiyallahu ‘anhum.  sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)

d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)

     Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

     Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)

     Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat

     Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlud dlolalah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)

     Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)

     Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Di luruskan oleh perajurit saba

Sabtu, 04 April 2015

Cabang-Cabag Ulumul Hadits

Banyak sekali cabang ilmu hadis maka para ulama meng hitungnya beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya ada 65 cabang dan ada pula yang menghitungnya 10 hingga 6 cabang,tergantung kebutuhan atau kepentingan penghitung itu sendiri.Ada yang menghitungnya secara terperinci dan secara global.

Cabang-cabang ilmu hadis yang terpenting baik dilihat dari segi sanad dan matan dapat di bagi menjadi beberapa macam cabang, antara lain : (4)

1) Ilmu Rijal Al-Hadits

Adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi. Ilmu Rijal Al-hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah dan Ilmu Al-Jarh wa Tadil.

~ Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain.
Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadis dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka,siapa guru-gurunya atau siapa mereka menerima sunnah dan siapa murid-muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits,baikdari kalangan para sahabat,tabiin, dan taabi tabiin. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau tidaknya sanad suatu hadits.

~ Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil

Dr.Shubhi Ash-Shalih memberikan definisinya yaitu :Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka,dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunankan kata-kata khusus.

Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-tadil) seorang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan,kecacatan dan atau ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits.

2) Ilmu Ilal Al-hadits

Dalam bahasa al-illah diartikan al-maradh = penyakit. Dalam istilah ilmu hadits Ilmu Ilal Al-Hadits adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara lahirnya tidaknampak adanya cacat tersembut.

Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengtahui siapa diantara periwayat Hadits yang terdapat illat dalam periwayatannya,dalam bentuk apa dan dimana illat tersebut terjadi, dan pada sanad pada matan.

3) Ilmu Gharib Al-Hadits

Adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia,karena tidak umum dipakai orang Arab.

Tujuan ilmu ini untuk mengetahui  mana kata-kataa dalam hadits yang tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam hadits tersebut.

4) Ilmu Mukhatalif Al-Hadits

Dr.Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa Mukhatalif Al-Hadits adalah Hadits makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.

Tujuan ilmu ini mengetahui hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagimana pemecehannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadits-hadits yang kontra tersebut.

5) Ilmu Nasikh wa Mansukh

Menurut ulama ushul fiqih, nasakh aadalah Pembatalan hukum syara oleh syari (pembuat syariat) dengan dalil syara yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh menurut ahli hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan yang dinasakh.

Tujuan mempelajariilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari hadits dalam bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi nasikh mansukh.

6) Ilmu Fann Al-Mubhamat

Ilmu Fann Al-Mubhamat adalah ilmu yang membicarakan tentang seseorang yang samar namanya dalam matan atau sanad.

Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar-samar atu tersembunyi.

7) Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits

Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menerang kan sebab-sebab datangnya hadits dan beberapa munasabahnya (latar belakang).

Tujuan ilmu ini adalah mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya suatu hadits,sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki

8) Ilmu Tashhif wa Tahrif

Adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushahaf) atau dirubah bentuknya (muharraf).

Tujuannya,mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabith-an seorang perawi.

9) Ilmu Mushthalah Al-Hadits

Adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal antara mereka.

Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset hadits,karena para para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.

****Dari uraian singkat mengenai Ilmu Hadits, perkembangan, dan cabang-cabangnya, dapat kita simpulkan:

~ Al Quran dan hadits merupakan petunjuk dan pedoman hidup umat Islam. Jika kedua pedoman itu dipegang teguh dalam mengarungi dunia, umat islam akan selamat sejahtera dunia akhirat, demikian pula sebaliknya, umat islam akan tersesat jika  Al Quran dan Hadits ditinggalkan.

~ Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al Quran, maka kajian-kajian dalam berbagai disiplin ke-Islam-an seperti: Akidah, Akhlaq, Syariah, dan Muamalah harus mengacu pada Hadits Rasul (setelah Al Quran). Bagi umat Islam dan khususnya mereka yang menekuni study ke-Islam-an , dipandang sangat perlu menguasai Al Quran dan Hadits secara mendalam, sehingga dalam menentukan hukum dalam berbagai masalah ke-Islam-an benar-benar dapat dipertanggungjawabkan baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia.

~ Untuk memahami Hadits secara mendalam, harus menguasai Ilmu Hadits. Dengan memahami Ilmu Hadits, akan diketahui kualitas suatu hadits, apakah Shahih, hasan, atau dhaif. Selain itu juga dapat mengetahui jenis dan bentuk hadits dan sumber hadits apakah benar-benar dari Nabi atau bukan.

Perkembangan Ulumul Hadits

Pada masa  sahabat dan masa tabiin, kebutuhan akan ilmu semakin terasa. Ini disebabkan karena Rasul SAW sudah wafat, sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis yang hanya didengar atau disampaikan oleh seseorang saja, lebih-lebih ketika umat islam memulai upaya mengumpulkan hadis.
Pada masa tabiin, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Syihab az-Zuhri (51-124 H). Ini diperlukan sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd Al-Aziz. Dari sini, ilmu hadis mulai terlihat keberadaannya, meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.

Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah tersebut semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Dalam hal ini, dapat dilihat misalnya para ulama/imam mazhab fikih yang juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini. Kemudian, lebih berkembang lagi dengan hadirnya para ulama mudawwin hadis, seperti Malik bin Anas, al Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tutmudzi, an-NasaI, dan Ibn Majah. Meskipun karya-karya mereka masih berserakan dalam bentuk risalahnya-risalahnya.
Setelah itu, muncul Abu Nuaim Ahmad bin Abdillah al-Asfahani (336-430H) dengan kitabnya al-mustakhraj ala Marifah Ulama al-Hadits. Dalam kitab ini mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Marifah Ulama al-Hadits karya al-Hakim. Berikutnya, Al Khatib al-Bagdadi Abu Bakar Ahmad bin Ali (463 H) dengan kitabnya yang terkenal ialah Al-Kifayah fi Quwanin ar-Riwayah. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis dan kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya ialah Al-Jamili Adabi Asy-Syekh wa as-Sami. Menurut Abu Bakar bin Nuqtah, para ulama muhadisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khathib al-Bagdadi, menginduk pada kitabnya.

Masa penyempurnaan penyusunan Ilmu Hadits dimulai Abad ke-7 sampai Abad ke-10H. Dimasa ini telah dihasilkan beberapa karya dalam Ilmu Hadits, salah satu yang terkenal adalah Ulum Al Hadits yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah Ibn Al-Sholah, karya Abu Amr Usman bin Abdurrahman Asy Syahrazuri. Kitab ini selanjutnya diberi Syarah dan dibuat mukhtasarnya oleh ulama generasi berikutnya.

Selain masa kemajuan Ilmu Hadits, juga terjadi masa kemunduran pada Abad ke-11 hingga beberapa tahun lamanya. Pada masa tersebut, hampir tidak ditemukan ijtihad dan penyusunan Ilmu hadits oleh para ulama. Pada akhirnya kitab-kitab Ilmu Hadits kembali bermunculan. Beberapa diantaranya adalah: Qawaid At-Tahdits oleh Jamaluddin Al Qasimi, Tarikh Futun Al-Hadits oleh Abdul Azis Al Khauli, dan beberapa karya Ilmu Hadits yang lain.

Pengertian Ulumul Hadits

Hadits adalah sumber ajaran Islam setelah Al Quran yang bersumber dari Rasulullah SAW, berupa siafat-sifat, ucapan, perbuatan, ataupun taqrir. Berbagai permasalahan muncul setelah Rasulullah SAW wafat, dikarenakan larangan penulisan Hadits di masa Rasulullah SAW. Dengan larangan penulisan hadits, maka para sahabat hanya mengandalkan hafalan, hal tersebut menjadi kelemahan bagi para shahabat  yang hafalannya lemah. Selain itu, penerimaan hadits dari Rasulullah SAW juga beragam, tidak semua sahabat menerima hadits dalam waktu bersamaan.

Keadaan tersebut menuntut para ulama bekerja keras, melakukan penelitian secara ketat terhadap Hadits Rasulullah SAW. Terlebih banyaknya hadits palsu (maudhu) yang bermunculan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Para ulama membuat kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan, dan acuan untuk menilai hadits-hadits yang ada. Kaidah, ketentuan dan acuan  tersebut yang dikembangkan menjadi ilmu hadits.
Ilmu hadits sudah ada sejak periode Rasulullah SAW. Para Sahabat memahami segala ucapan dan perbuatan, serta mendengarkan dan menyimak pesan atau nasihat Nabi SAW. Para sahabat memelihara hadits dari Nabi dengan menghafal dan menyampaikan dengan hati-hati kepada sahabat lain atau para Tabiin. Begitu juga para Tabiin, mereka memahami, memelihara, dan menyampaikan kepada Tabiin lain atau Tabi Tabiin (generasi sesudahnya).

A. PENGERTIAN ULUMUL HADITS

Ilmu Hadits (Ulumul Hadits), secara bahasa berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ilmu (ilmu).

Secara etimologis, seperti diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cra-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-adila-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya (1)

Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

1. Ilmu Hadits riwayah

Definisi ilmu hadits riwayah menurut itr, adalah Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafadz-lafadznya
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, Sahabat, dan Tabiin, yang meliputi:

~ Cara periwayatannya, yaitu cara penerimaan dan penyampaian hadits dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.

~ Cara pemeliharaan, yaitu penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits. Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang adalah(ke-adil-an) sanad, syad (kejanggalan), dan illat (kecacatan) matan.

Tujuan Ilmu Hadits riwayah adalah memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuan. Selain itu ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan, sesuai firman Allah SWT dalam Q.S Al Ahzab (33) :21 Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

2.  Ilmu Hadits Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah, biasa disebut Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, dan Qawaid At Tahdits. At Turmudzi mendefinisikan sebagai Undang-undang atau kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi, dan lain-lain.

Ulama yang lain mengatakan bahwa, Ilmu Hadits Dirayah adalah  Ilmu pengetahuan yang berisi tentang kaidah-kaidah unuk mengetahui keadaan sanad dan matan
Daridefinisi diatas, dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek Ilmu Hadits Dirayah adalah Sanad dan Matan. Dari segi sanad diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan hadis. Dari segi matan, diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dapat disimpulkan bahwa, manfaat mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah:

~ Dapat mengetahui pertumbungan dan perkembangan Hadits dari masa Rasul SAW hingga sekarang.
~ Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits
~Dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipakai para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut
~ Dapat mengetahui istilah-istilah dan criteria hadits sebagai pedoman dalam mendapatkan suatu hokum syara.

Pembagian Tafsir Dari Segi Sumber, Metode dan Coraknya



I.              PENDAHULUAN

Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui sahabat  didaerah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri yaitu di Makkah, Madinah dan Irak.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadist namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadist, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadist dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn majjah, Ibn Jarir At-Thabari, Abu Baqar Ibn Al-Munzir An-Naisaburi dan lainnya. 

Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan pembahasan makalah ini dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya, tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut coraknya. 

II.           RUMUSAN MASALAH

1.             Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
2.             Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya
3.             Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

III.        PEMBAHASAN

1.             Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya

Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi Al-Ma’tsur dan Tafsir bi Al-Ra’yi

a.       Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan atau Sunnah sebagai sumber   penafsirannya. Contoh: 

1a)      Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karangan Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir Al-Qarsyi Al-Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir. 
2b)      Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary. 
3c)      Tafsir Ma’alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul,  karangan Al-Iman Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin Al-Farra’ Al-Baghawy Al-Syafi’i, dikenal dengan sebutan Imam Al-Baghawy.

b.      Tafsir bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya. Contoh: 

1)      Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.
2)      Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi
3)      Al-Kasysyaf’an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-Zamakhsyari.

2.             Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya

Para ulama Al-quran telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode penafsirannya menjadi empat macam, yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

a.       Metode Tahlili (Metode Analisis)

Secara bahasa, al-tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Maksudnya adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an. 

Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyikap seluruh maksudnya, mulai dari uraian, hingga sisi antar pemisah itu dengan bantuan Asbabul Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuannya ditunjukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini. 

b.      Metode Ijmali (Metode Global) 

Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar. Global dan penjumlahan. Maka dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. 

Metode Ijmali yang menafsirkan Al-Qur’an secara global. Dengan metode, ini muffasir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, dari orang yanf berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan luas. 

c.       Metode Muqaran (Metode Komparasi/perbandingan) 

Al-tafsir al-muqaran ialah yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi berbeda-beda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan. Juga termasuk ke dalam metode komporasi ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadis, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan. 

Al-tafsir al-muqaran juga bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan antara aliran-aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain, maupun perdandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian, maka bentuk-bentuk metode penafsiran yang dilakukan dengan cara perdandingan memiiki obyek yang luas dan banyak.

d.      Metode Maudhu’i (Metode Tematik)

Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu di dukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional. 

Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dlam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap, bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang munccul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat memberikan jawaban dengan konsep Al-quran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.

Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode maudhu’i. Langkah-langkah yang di maksud adalah sebagai berikut: 

 a)      Memilih atau menetapkan masalah al-qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
 b)      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat makkiyah dan ayat madaniyah.
 c)      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sebab al-nuzul.
 d)      Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
 e)      Menyusun tema bahasa dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
 f)      Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas. 

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.

3.             Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

Corak penafsiran yang dimaksut dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantaranya sebagai berikut: 

a.         Tafsir Shufi/isyari, corak penafsiran ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir isyari.
b.         Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur.
c.         Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi Al-Ra’yi.
d.        Tafsir ‘ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘ilmiy ini juga termasuk tafsir bi al-ra’yi.
e.         Tafsir al-adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al=adab al-ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengategorikannya sebagai tafsir bi al-izdiwaj (tafsir campuran), karena presentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang. 

Ayo,, Ganyang Liberal


Foto: Ilustrasi
     Di Tahun 2010, Liberal mengajukan Yudicial Review ke MK untuk Pembatalan Pasal Larangan Penistaan Agama dalam UU PENODAAN AGAMA yaitu Perpres No 1 Tahun 1965. Saat itu, Pemerintah RI dan MK memberi kesempatan kepada Ormas-Ormas Islam, termasuk NU, Muhammadiyah, MUI, FUI dan FPI, untuk melawan Liberal di MK dan Alhamdulillah MENANG, sehingga tuntutan Liberal ditolak MK.

     Di Tahun 2011, beberapa oknum mahasiswa Liberal mengatas-namakan HMI mengajukan Yudicial Review ke MK untuk Pembatalan Pasal Wewenang Kejaksaan dalam melarang buku-buku aliran sesat, yang juga dalam UU PENODAAN AGAMA yang sama. Saat itu, entah kenapa Pemerintah dan MK tidak memberi kesempatan, bahkan tidak menginfokan sama sekali, kepada Ormas-Ormas Islam tentang tuntutan tsb ??!!

     Akhirnya, Liberal menang dan pasal tersebut dibatalkan MK, sehingga sekarang Kejaksaan tidak punya wewenang melarang buku-buku aliran sesat, termasuk buku yang menghina Allah SWT dan Rasulullah SAW serta Al-Qur'an sekali pun.

     Di Tahun 2014, beberapa mahasiswa dan alumni FH UI ajukan Yudicial Review ke MK untuk Pembatalan Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang PERKAWINAN yang berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu." Tujuan Busuk Liberal adalah agar KAWIN BEDA AGAMA disahkan negara.

     Hingga saat ini, entah kenapa lagi, Pemerintah dan MK belum melibatkan Ormas-Ormas Islam untuk melawan Liberal di MK ???!!!

     Awas ! Hati-hati !!  Waspada !!!  Jangan sampai ada "Perselingkuhan Licik dan Jahat" antara Pemerintah dan MK serta Liberal untuk menghapus pasal-pasal Islam dari perundang-undangan RI. Jangan sampai terulang kemenangan Liberal di MK Tahun 2011 yang telah menghapus Kewenangan Kejaksaan dalam melarang buku-buku yg menista dan menodai agama.

     Apalagi, MK pernah melegalkan ANAK ZINA sebagai pewaris sah dari Ayah Zina-nya, dan Menteri Agama RI saat ini telah secara terang-terangan membela dan melegalkan aliran sesat BAHA-I sebagai agama sah di Indonesia.

     Saya serukan segenap Ormas Islam untuk segera merapatkan barisan dan menyatukan segala potensi untuk melawan MAKAR LIBERAL :

Ayo ... , segera setiap Ormas Islam buat Surat Resmi ke MK agar disertakan menjadi "Pihak Terkait" yang berkepentingan untuk melawan Liberal di MK !

Ayo ... , segera bergerak sebelum Nasi jadi Bubur !  Jangan biarkan CECUNGUK LIBERAL terus menerus menggerogoti perundang-undangan kita yang bernafaskan Islam !!

Ayo ... , Ganyang Liberal ... !!!

Allaahu Akbar .... !!!

Liberal Lebih Iblis Daripada Iblis

Bismillaah wal Hamdulillaah ...
Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata illaa Billaah ...

     Pada hari Selasa 22 Februari 2011, KH. Hasyim Muzadi saat menjadi keynote speaker dalam acara Harlah NU ke-88 yang digelar PWNU Jawa Timur di Surabaya, beliau menyatakan dengan santai tanpa beban bahwa Liberal Indonesia kalau ke Amerika masih dianggap ”kurang kafirnya”, para peserta pun tertawa mendengar gurauan tersebut. Satu canda yang dalam sekali, bahkan bagi saya dan kawan-kawan FPI yang ikut hadir sebagai undangan, itu bukan sekedar guyonan, tapi satu pukulan telak dan tusukan mendalam yang memposisikan Liberal di tempat yang semestinya.

     Vonis kafir untuk Liberal bukan serampangan tak berdasar. Dan Fatwa sesat dari MUI terhadap Liberal bukan ijtihad sembarangan. Serta kesimpulan bahwa Liberal adalah musuh besar Islam bukan kesimpulan berantakan. Begitu pula pernyataan bahwa Liberal lebih Iblis dari pada Iblis bukan pernyataan asal-asalan. Akan tetapi semua itu sudah melalui proses pengkajian mendalam, cermat dan teliti terhadap semua produk pemikiran Liberal, baik di tingkat nasional mau pun internasional.


     Melalui tulisan yang lalu, saya sudah memaparkan bahwasanya Liberal merupakan gabungan berbagai virus yang mematikan akal dan nalar serta membunuh iman, yaitu virus-virus Relativisme, Skeptisisme, Agnostisisme dan Atheisme, yang mengakibatkan komplikasi dari berbagai penyakit pemikiran yaitu Pluralisme, Sekularisme, Materialisme dan Rasionalisme, yang secara berurut bisa disebut sebagai kanker pemikiran stadium satu hingga empat.

     Pada tulisan yang lalu juga telah diuraikan rincian laporan Setara Institute tahun 2010 yang sangat anti Islam lengkap dengan halamannya, sebagai bukti bahwa saya tidak sedang berbohong, apalagi memfitnah tentang kesesatan Liberal, sekaligus bukti bahwa saya membaca dengan cermat dan sangat memahami kebobrokan pemikiran Liberal. Kini, sejumlah fakta dan data lain akan saya ungkapkan untuk lebih mempertegas kesesatan Liberal.

     Jadi, melalui tulisan tersebut dan tulisan kali ini, saya bukan sedang mencaci-maki Liberal, tapi tepatnya sedang menelanjangi kesesatan dan kebobrokan Liberal, sekaligus menjadi saham perjuangan untuk membela Islam. Insya Allah.

LIBERAL DAN PENODAAN AGAMA

     Nashr Hamid Abu Zaid pentolan Liberal asal Mesir, yang telah dikafirkan oleh Ulama Mesir dan divonis Hukum Mati oleh Mahkamah Mesir, lalu melarikan diri ke Barat, di Indonesia justru dinobatkan sebagai Imam Kaum Liberal. Nashr Hamid merupakan rujukan utama Kaum Liberal dari kalangan yang mengaku ”Muslim Liberal”. Dalam buku karyanya yang berjudul Naqd Al-Khithaab Ad-Diinii, Nashr Hamid menyimpulkan bahwa semua ayat tentang hal-hal yang yang Ghaib seperti ‘Arsy, Al-Kursiy, Lauh, Qolam, Sorga, Neraka, Jin, Syetan, dsb, hanya merupakan Gambaran Mitologis yang sudah tidak rasional untuk zaman kontemporer. Karenanya, semua ayat tentang Alam Ghaib harus dita’wilkan secara Metafor, sehingga sesuai dengan alam Materialistik dan sejalan dengan Metode Ilmiah Modern. Dengan kata lain bahwa ayat tentang Alam Ghaib mesti dirasionalisasikan, karena agama harus sesuai dengan akal.

     Jika semua masalah ghaib dianggap sebagai Mitos (Takhayul), maka konsekwensi ilmiahnya bahwa masalah ketuhanan pun pada akhirnya menjadi Mitos juga, karena justru masalah ketuhanan adalah masalah ghaib yang paling besar. Dan justru ciri utama orang yang muttaqin adalah beriman kepada yang ghaib, seperti beriman kepada Allah SWT, para Malaikat, Hari Qiyamat, Qodho dan Qodar, dsb. (QS.2. Al-Baqarah : 1-4).

     Selanjutnya, jika Tuhan sudah dianggap sebagai Mitos maka akan mengantarkan kepada sikap Atheis yang anti Tuhan. Konsekwensi tersebut akhirnya terbukti, dalam Jurnal JUSTISIA yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo pada edisi 26 Th. XI 2004, di kolom Ekpresi dinyatakan bahwa Tuhan hanyalah sebuah Faith Identity (Identitas Keyakinan) bagi sebuah agama, yang kemudian direduksi oleh masing-masing agama dalam nama-nama : Allah SWT, Allah, Yesus, Sidarta Gautama, Yahwe, Brahma, Wisnu, Shiva, Laat, ‘Uzza, dsb. Disitu juga dinyatakan bahwa Atheis bukan anti Tuhan, melainkan anti Mitologi Ketuhanan atau Anti Rumusan Tuhan Tradisonal yang abstrak dan tidak rasional, sehingg perlu ada perumusan ulang tentang Tuhan berdasarkan Rasionalitas.

     Jejak Liberal lainnya menunjukkan bahwa Gus Dur dan Cak Nur semasa hidup keduanya dimana-mana selalu mengkampanyekan bahwa semua agama sama dan semuanya benar serta semuanya menyembah Tuhan yang sama. Ulil Abshar di Majalah Gatra 21 Desember 2002 menyatakan bahwa semua agama sama dan semuanya menuju jalan kebenaran, sehingga Islam bukan yang paling benar. Dawam Rahardjo dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia pada Rabu, 25 Januari 2006 di Pekanbaru menyatakan bahwa pindah agama tidak murtad. Luthfi Syaukani di Harian Kompas 3 September 2005 menyatakan bahwa pada gilirannya, perangkat dan konsep agama seperti Kitab Suci, Nabi, Malaikat dan lain-lain tak terlalu penting lagi. Syafi’i Ma’arif dalam Majalah MADINA No.06 / Tahun I, Juni 2008, hal.9, membuat tulisan tentang kesamaan umat Islam, Nashrani dan Yahudi di mata Allah.


     Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Islam dan Pluralisme mengaminkan pendapat bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama. Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Ajaran dan Jalan Kematian Syeikh Siti Jenar menuliskan : ”Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.”


     Selain itu, Nashr Hamid sebagai Gembong Liberal beserta para begundalnya adalah kelompok yang paling getol mengkampanyekan paham-paham Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) yang telah dinyatakan sebagai paham sesat menyesatkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.7 Tahun 2005. Dalam rangka untuk mengetahui lebih jauh lagi kesesatan Liberal, maka berikut ini akan dipaparkan secara ringkas tentang kandungan dua buku paling kontroversial dari kalangan Liberal, yaitu : Fiqih Lintas Agama dan Lubang Hitam Agama.

FIQIH LINTAS AGAMA

     Buku Fiqih Lintas Agama adalah karya Tim Penulis Paramadina yang terdiri dari Nurcholish Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, Masdar F Mas’udi, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, dengan editor Mun’im A Sirry, yang diterbitkan oleh Yayasan Waqaf Paramadina bekerja sama dengan The Asia Foundation pada Tahun 2004.

     Dalam Pengantar (hal.ix) dan Muqaddimah (hal.2) Tim Penulis menghina Fiqih sebagai belenggu kehidupan dan memfitnahnya sebagai ajaran yang mendiskreditkan agama lain, bahkan sebagai penyebar kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain. Dan masih dalam Muqaddimah (hal.4-5) Tim Penulis menghina periode dan generasi As-Salaf Ash-Sholeh sebagai penyebab kebekuan pemahaman, dan memfitnah Imam Asy-Syafi’i  sebagai penyebab tidak berkembangnya pemikiran Islam lebih dua belas abad.

     Dalam isi buku tersebut, Tim Penulis menuding bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah adalah Diskriminatif, Eksklusif dan Fundamentalistik (Hal.142). Dan Tim Penulis menegaskan bahwa umat beragama apa pun tidak kafir, karena semua agama sama dan benar, sehingga tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agamanya yang paling benar. (hal.133, 167, 206 dan 207).

     Selanjutnya, atas dasar Hikmah dan Kemaslahatan persaudaraan, persahabatan, kedamaian, kerukunan, solidaritas, persatuan dan kehangatan pergaulan antar umat beragama, maka Tim Penulis memfatwakan antara lain : boleh mengucapkan salam kepada non muslim, bahkan wajib menjawab salam mereka (hal.72, 77 dan 78), boleh mengucapkan selamat Natal atau selamat Hari Besar agama apa pun, bahkan boleh ikut merayakannya (hal.84-85), boleh mendoakan dan minta doa dari non muslim, termasuk doa bersama, bahkan semua itu dianjurkan (hal.110 dan 118), hukum Jizyah melecehkan non muslim sehingga harus dinasakh (hal.151-152), boleh kawin beda agama dan harus ada waris beda agama (hal 164 dan 167).

     Mulai dari pembukaan buku hingga penutupnya, terlihat jelas bagaimana Tim Penulis begitu berani melakukan haramisasi yang halal dan halalisasi yang haram. Tapi tentu saja itu tidak mengherankan, karena memang begitulah kebiasaan Kaum Liberal. Kita masih ingat bagaimana salah satu Antek Liberal, Musdah Mulia, pernah membuat Counter Legal Draft – Kompilasi Hukum Islam yang berusaha untuk mengharamkan polygamy, namun pada saat yang sama menghalalkan perkawinan sejenis (Homo dan Lesbi), sebagaimana pernyataannya di berbagai kesempatan dan wawancaranya di Jurnal Perempuan58, sehingga mendapat penghargaan International Women of Courage Award dari Amerika Serikat pada 7 Maret 2007.

LUBANG HITAM AGAMA

     Buku Lubang Hitam Agama karya Sumanto Qurtubi, seorang alumnus AIN Semarang, dengan pengantar Ulil Abshar Abdalla, dan diendos cover yang penuh pujian oleh Gus Dur, Moeslim Abdurrahman, Anif Sirsaeba Alafsana, Ahmad Tohari dan Trisno S Sutanto, yang diterbitkan oleh Ilham Insitute dan Rumah Kata pada tahun 2005.
Buku ini secara vulgar dan demonstratif serta konfontratif menunjukkan kesesatan dan permusuhannya terhadap Agama, Al-Qur’an, Nabi, Shahabat, Ulama dan Syariat Islam. Tidak diragukan lagi bahwa serangan penulis terhadap Islam dalam bukunya tersebut merupakan penistaan dan penodaan agama.

     Penistaan terhadap Agama yang dilakukan penulis dalam buku tersebut antara lain : agama bukan produk Tuhan (hal.31), agama adalah penjajah budaya dan pemasung intelektual (hal.55 dan 58), agama mematikan akal dan nalar (hal.59), agama adalah sumber konflik dan pembawa bencana (hal.83 dan 87), Islam adalah strategi budaya Muhammad dan merupakan sinkretik serta campuran budaya : Judaisme, Kristianisme dan Arabisme (hal.216-217 dan 225), penulisan bahasa Arab adalah Arabisme (hal.228).

Penistaan terhadap Al-Qur’an yang dilakukan penulis dalam buku tersebut antara lain :

     kemaslahatan lebih diutamakan daripada ayat-ayat Tuhan (hal.31), Umar ikut menciptakan Al-Qur’an (hal.32), Teks Al-Qur’an tidak autentik (hal.34 dan 37), Nabi dan para Shahabat adalah para pencipta Al-Qur’an (hal.43), Al-Qur’an angker dan perangkap bangsa Quraisy, serta dibuat oleh manusia dan bukan kitab suci (hal.64-65), Al-Qur’an membelenggu kebebasan dan menciptakan tragedy kemanusiaan (hal.117), Muhammad, Islam dan Al-Qur’an tidak terlepas dari distorsi / penyimpangan (hal.126), kandungan Al-Qur’an kontroversi (hal.142), Al-Qur’an saja bermasalah apalagi Kitab Kuning (hal.146).

     Penistaan terhadap Nabi, Shahabat dan Ulama yang dilakukan penulis dalam buku tersebut antara lain : Utsman pelaku nepotisme dan keliru membuat Mush-haf Al-Qur’an (hal.39), Nabi dan para tokoh non muslim seperti Gandhi, Luther, Bunda Terresa dan Romo Mangun bersama-sama menunggu di Surga (hal.45), Kisah Heroik para Nabi dan Mu’jizatnya hanya dongeng seperti Sinetron “Saras 008” atau kisah heroic James Bond (hal.58), Nalar Politik Tirani dibentuk oleh Khulafa Rasyidin (hal.124), Para Shahabat Nabi telah memperagakan Politik Islam dengan sangat sempurna mengerikannya (hal.134), Imam Al-Mawardi mengkhianati hak-hak rakyat dan seorang Rasis / Arabisme (hal.150 dan 155), Doktrin Politik Sunni ambigu dan out of date / kadaluarsa (hal.167), Al-Asy’ari dan Al-Ma’turidi menjalin persengkokolan politik (hal.171), Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sekte yang telah memanipulasi teks-teks keagamaan (hal.229).

     Penistaan terhadap Syariat Islam yang dilakukan penulis dalam buku tersebut antara lain : Syariat Islam menciptakan gerombolan mafia dan anjing-anjing penjilat kekuasaan (hal.70), Syariat Islam diskriminatif terhadap perempuan dan non muslim (hal 131-132), Formalisasi Syariat Islam bukan hanya Utopis, tapi juga Tirani (hal.134).

LEBIH IBLIS DARI PADA IBLIS

     Makhluq Iblis disebut Iblis karena pembangkangannya terhadap perintah Allah SWT. Karenanya, mereka yang membangkang terhadap Allah SWT layak disebut Iblis atau antek Iblis, atau sekurangnya pengikut Iblis. Bahkan pembangkangan manusia terhadap Allah SWT sering lebih dahsyat dari pada pembangkangan Iblis itu sendiri.
Sekali pun Iblis selalu menggoda anak manusia agar atheis atau musyrik, namun Iblis sendiri dengan segala kesesatannya tidak pernah membenarkan atheis atau pun musyrik, apalagi menjadi atheis atau pun musyrik. Iblis tahu dan mengakui bahwa Allah SWT itu ada dan Maha Esa. Itulah sebabnya, Kaum Liberal yang membela dan membenarkan Atheis dan Kemusyrikan, apalagi menjadi Atheis dan Musyrik, jauh lebih Iblis dari pada Iblis itu sendiri.
Dalam QS.59.Al-Hasyr : 16, Firman Allah SWT menyatakan, yang terjemahannya sebagai berikut : ”Seperti (bujukan) Syetan ketika ia berkata kepada manusia : ”Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata : ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.”

     Jadi, lucu sekali jika ada orang ”Liberal” mengaku sebagai ”Muslim Liberal” atau ”Islam Liberal”, karena Liberal bukan Islam dan Islam bukan Liberal. Lebih lucu lagi, jika ada orang Liberal kebakaran ubun-ubun (-bukan kebakaran jenggot karena tidak berjenggot dan memang tidak suka jenggot-), hanya karena tulisan saya yang lalu dan yang kini memaparkan fakta dan data dari buku karya mereka sendiri. Entah karena memang mereka Liberal Sejati yang memanfaatkan Islam untuk menghancurkan Islam, atau mungkin mereka baru setengah Liberal sehingga sebenarnya mereka tidak terlalu tahu juga tentang Liberal itu binatang macam apa.

     Dan yang paling menjijikkan adalah tatkala Kaum Liberal mengklaim bahwa mereka pembuka pintu ijtihad dan pejuang kebebasan. Padahal, pintu Ijtihad tidak pernah ditutup oleh Ulama Salaf mau pun Khalaf, bahkan di setiap zaman para Ulama selalu berijtihad untuk menjawab berbagai persoalan yang timbul seiring dengan kemajuan zaman. Soal kebebasan, baik dalam berpendapat mau pun beragama, itu merupakan ajaran Islam yang telah dikumandangkan dari zaman Nabi SAW hingga kini. Salah satu buktinya, Islam memberi kebebasan kepada setiap orang untuk meyakini bahwa agamanya yang paling benar dan selain agama yang dianutnya tidak benar, asal dia tidak melecehkan agama lain tersebut. Berbeda dengan Liberal yang dengan paham pluralismenya melarang setiap orang mengklaim agamanya yang paling benar dan memaksanya untuk membenarkan agama lain yang tidak dianut dan tidak diyakininya. Jadi, Islam lah pengusung kebebasan sejati dalam beragama, sedang Liberal justru menjadi pemerkosa kebebasan beragama dan berkeyakinan.

     Selain itu, yang juga tidak kalah menjijikkannya adalah Liberal mengaku sebagai kelompok yang sangat menghormati pendapat orang lain. Padahal, Liberal itu fundamentalis, ekstrimis dan anarkis dalam pemikiran dan berpendapat, sehingga mereka tidak pernah bisa menghormati pendapat kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Itulah sebabnya, Kaum Liberal tidak pernah ragu untuk selalu mencaci-maki Gerakan Islam dan memfitnahnya sebagai preman berjubah, anarkis, radikalis, ekstrimis dan teroris. Dan kaum Liberal dengan tanpa punya rasa malu selalu berusaha untuk membubarkan Ormas Islam yang istiqomah di Rel Syariat Islam dengan berbagai macam cara. Bahkan kaum Liberal dengan sangat kafirnya mencaci-maki Agama, Al-Qur’an, Nabi, Shahabat, Ulama dan Syariat Islam, sebagaimana telah diuraikan fakta dan datanya di atas.

     Dengan demikian, untuk kesekian kali saya nyatakan bahwa Liberal adalah kelompok anarkis pemikiran, perusak agama dengan mengatas-namakan agama, musuh Syariat Islam, preman intelektual, koruptor dalil dan manipulator hujjah, serta tidak diragukan lagi sebagai antek Iblis, bahkan lebih Iblis dari pada Iblis.
Ya Robb…Hancurkan Liberal !