Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekedar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya. Mohon do'akan kami semoga selalu istiqomah dalam kebaikan Perajurit Saba: Oktober 2015

Jumat, 09 Oktober 2015

IKHLAS ITU , , ,

Ikhlas itu,,, ketika nasehat, kritik dan bahkan fitnah, tidak mengendorkan amalmu dan tidak membuat semangatmu punah.

Ikhlas itu,,, ketika hasil tak sebanding usaha dan harapan, tidak membuatmu menyesali amal dan tenggelam dalam kesedihan.

Ikhlas itu,,, ketika amal tidak bersambut apresiasi, tak membuatmu urung bertanding.

Ikhlas itu,,, ketika niat baik disambut berbagai prasangka, kamu tetap berjalan tanpa berpaling muka.

Ikhlas itu,,, ketika sepi atau ramai, sedikit atau banyak, menang atau kalah, kau tetap pada jalan yang lurus dan terus melangkah.

Ikhlas itu,,, ketika kau lebih mempertanyakan apa amalmu dibanding apa posisimu, apa peranmu dibanding apa kedudukanmu, apa tugasmu dibanding apa jabatanmu.

Ikhlas itu,,, ketika ketersinggungan pribadi tidak membuatmu keluar dari barisan dan merusak tatanan.

Ikhlas itu,,, ketika posisimu diatas, tak membuatmu jumawa. ketika posisimu dibawah tak membuatmu ogah bekerja.

Ikhlas itu,,, ketika khilaf mendorongmu untuk minta maaf, ketika salah mendorongmu untuk berbenah, ketika ketinggalan mendorongmu untuk menambah kecepatan.

Ikhlas itu,,, ketika kebodohan orang lain terhadapmu, tidak kau balas dengan kebodohanmu terhadapnya. ketika kezalimannya terhadapmu tidak kau balas dengan kezlimanmu terhadapnya.

Ikhlas itu,,, ketika kau hadapi wajah marah dengan senyum ramah, kau hadapi kata kasar dengan jiwa besar, ketika kau hadapi dusta dengan menjelaskan fakta.

Ikhlas itu,,, gampang diucapkan,, sulit diterapkan,, namun tidak mustahil diusahakan.

Setiap Yang Baru Bid'ah, Setiap Yang Bid'ah Sesat


       Diskusi tentang bid'ah bertitik tolak dari sebuah hadits Nabi : ''setiap yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat dineraka'' (HR. Muslim). setiap bid'ah itu sesat. titik. tidak ada bid'ah yang baik. bukankah sang Rasul mengatakan ''setiap''.

       Tetapi, tahukah anda bahwa kata ''setiap'' memiliki arti berbeda menurut ahli bahasa dan ushul fiqh?.  jangan coba-coba memaknai sebuah teks tanpa merujuk pada pendapat para ulama jika tidak mau umat ini tertimpa bencana besar. tidak sedikit orang yang dengan dalih mengikuti Nabi dan menjauhkan diri dari bid'ah malah terjebak oleh hal-hal yang sifatnya permukaan, tidak mampu menangkap isi sebuah pesan. sepanjang bulan dan tahun ia sibuk mengurusi orang lain. menuduh keluarga fulan ahlu bidah, keluarga fulan berbuat syirik, keluarga fulan begini, keluarga fulan begitu, kelompok ini kerjanya begini, kelompok itu kerjanya begitu. tidak pernah terlintas sejenakpun untuk merenungkan aib dirinya sendiri dihadapan Allah. selama ini, sudahkah ia bersimpuh seraya menghinakan dirinya dihadapan-Nya? sudah mampukah ia mengendalikan hawa nafsu dalam beriteraksi dengan sesama? ia malah tidak henti-hentinya mengurusi orang lain, seolah-olah dirinya hakim kepercayaan Tuhan yang diberi tugas memutuskan seluruh persoalan manusia.

       Mestinya, ia menengok kebelakang, menyimak apa yang dikatakan Al bukhori tentang hadits bid'ah tersebut. dalam kitab  fathul baari karya imam ibn hajar al asqalani, syarah terbesar dari kitab hadits shahih bukhari karya imam al bukhori ditegaskan bahwa dalam hal bid'ah berlaku lima hukum. jadi, ada bid'ah wajib, bid'ah sunah, bid'ah makruh dan bid'ah haram.

       Bid'ah wajib, misalnya, menulis buku atau literatur untuk membantah mereka yang menyerang islam dan menyesatkan kaum muslimin. termasuk bid'ah wajib, yang dilakukan sahabat abu bakar, yaitu menghimpun Al qur'an kedalam satu mushaf. sebelum melakukan itu, ia bermusyawarah dengan sahabat Umar. usai bermusyawarah ia memanggil Zaid ibn Tsabit ''kami bermaksud menghimpun Al qur'an dalam satu mushaf'' kata Abu bakar. ''tetapi ini tidak dilakukan Rasulullah. ini bid'ah'' tanggap Zaid. ''benar, tetapi ini baik. para penghafal Al qur'an banyak yang gugur dalam pertempuran menumpas kaum murtad. kami mencemaskan Al qur'an, meskipun Allah menjamin akan menjaganya''. jelas Abu bakar.

       Ini berarti bahwa berbuat sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah, namun disukai Allah, layak dilaksanakan. alasannya bukan semata-mata hal itu dilakukan oleh Abu bakar yang merupakan khalifah sehingga berhak menetapkan suatu sunah, melainkan juga karena sebab yang melatar belakanginya, yaitu adanya nilai kebaikan. ketika Zaid keberatan karena kodifikasi Al qur'an tidak dilakukan Rasulullah, Abu bakar beralasan, ''tetapi, ini baik''. cobalah anda renungkan, disitu ada nilai kebaikan yang dinyatakan secara tersurat dalam dalil syari'at yang sifatnya khusus, dan secara tersirat masuk dalam semangat dalil syari'at yang sifatnya umum.

       Jika ada buku yang isinya memojokkan Rasulullah, dan buku itu berpengaruh luas, maka kita wajib menulis buku sanggahan, meskipun hal ini tidak terjadi pada masa Rasulullah. walaupun waktu itu belum ada penulisan buku, tetapi sekarang menjadi wajib.

       Bid'ah sunah, misalnya mendirikan sekolah, khusus menghafal Al qur'an. apakah Rasulullah mendirikan sekolah seperti ini? apakah beliau mendirikan perguruan tinggi untuk mengajarkan syari'at islam? tidak, beliau tidak melakukan itu. apakah beliau mengumpulkan orang-orang? tidak, beliau hanya mengumpulkan sahabat. apakah tokoh-tokoh islam pada abad-abad pertama islam mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat terawih bersama, dan membaca Al qur'an dalam shalat terawih itu satu juz setiap malam hingga khatam pada terawih akhir ramadhan? bahkan, setelah mengumpulkan orang-orang dan mengerjakan terawih berjamaah sebanyak dua puluh raka'at, Umar berkata, ''ini adalah bid'ah yang baik''. Umar tidak menghatamkan Al qur'an dalam terawih itu, tidak juga membatasi khatam pada malam 29 atau 27 ramadhan. semua ini tidak terjadi baik pada masa sahabat maupun masa tabi'in. ini bid'ah, tapi bid'ah yang sunah.

       Menurut imam syafi'i, bid'ah yang terpuji adalah yang merujuk pada salah satu sumber agama. ini syarat pertama. kita harus mengacu pada sumber syari'at. syarat kedua, tidak menyalahi salah satu hukum Allah.

       Ada bid'ah yang diharamkan. inilah bid'ah yang dilarang Rasulullah, yang menyalahi syari'at beliau dan tidak memiliki sumber dalam agama. beliau bersabda, ''ada dua kelompok penghuni neraka yang tidak akan aku lihat mereka''. karena mereka melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah. ''kelompok pertama, laki-laki yang memukul orang lain dengan cambuk mirip ekor sapi. kelompok kedua, perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan gaya erotis dan sensual, serta memikat kaum lelaki dengan memperlihatkan tubuh, perhiasan, atau kecantikannya. mereka ini takkan masuk surga, bahkan takkan mencium aromanya. padahal, aroma surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian.(hadits ini banyak versinya).

       Itulah bid'ah yang dilarang Rasulullah. sebab, agama telah menetapkan dengan tegas bahwa wanita wajib menutup aurat mereka yang membuka aurat jelas menyalahi ketetapan ini. atas dasar inilah imam ibn hajar, sebagaimana halnya imam al nawawi dalam syarh shahih muslim-nya membagi bid'ah kedalam kategori hukum yang lima tersebut.

       Ringkasnya, ada bid'ah secara bahasa, ada juga bid'ah secara syari'at. secara bahasa, bid'ah artinya hal apa saja yang baru, tanpa ada batasan. ''setiap yang baru adalah bid'ah''. ini secara bahasa, dan disinilah berlaku hukum yang lima itu. ada bid'ah yang secara syari'at tidak memiliki sumber dalam agama. ''siapa saja yang berbuat bid'ah menyangkut hal-hal yang tidak termasuk urusan kami, maka itu ditolak''.

       Menurut ulama ushul, dibalik teks tersurat (manthuk al nash) terdapat pemahaman tersirat (mafhum al nash). ''siapa saja berbuat bid'ah menyangkut hal-hal yang tidak termasuk urusan kami, maka itu ditolak'', adalah arti tersurat, sedangkan arti tersiratnya, ''siapa saja berbuat bid'ah menyangkut sesuatu yang termasuk urusan kami, maka itu tidak ditolak''.

       Oleh karena itu, ketika menjelaskan hadits ini didalam syarh shahih muslim-nya, imam al nawawi - dan para ulama salaf pada umumnya - mengatakan bahwa untuk memahami hadits ini kita harus merujuk pada makna kata ''setiap''. secara bahasa kata ''setiap'' bermakna universal. tetapi dalam syari'at terkadang bermakna partikular, seperti dalam ayat ...ada seorang raja yang merampas setiap bahtera (Q.S Al kahfi. 79). kenyataannya, tidak setiap bahtera diambil raja. karena itu, khidir merusak sebagian kapal yang ia tumpangi agar terlihat buruk, sehingga raja tidak tertarik untuk merampasnya.

     


Seandainya kata ''setiap'' pada hadits tersebut kita pahami sebagai makna universal maka kita telah banyak sekali melakukan bid'ah, baik dalam soal agama maupun urusan dunia. sebab, kata ''setiap''  jika dipahami secara umum maka segala hal tercakup didalamnya. karenanya, kata ''setiap'' dalam hadits soal bid'ah itu dipahami partikular, bukan universal. maka arti bid'ah dalam hadits ''setiap yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat dineraka'' adalah bid'ah dalam hal yang buruk, yang melanggar prinsip dasar syari'at.

Rabu, 07 Oktober 2015

AKU TIDAK DICIPTAKAN UNTUK HIDUP SIA-SIA



       Tahun demi tahun terus berlalu, tetapi aku merasa sama sekali belum memahami ayat-ayat Al qur'an. belum satupun ayat merasuk kejiwaku. hari demi hari juga terus berganti. satu malam aku tangisi dosa, tapi sepuluh malam aku lupa. satu kali aku bertobat, namun berkali-kali aku rusak dengan maksiat. lidah, mata dan telingaku lepas tidak terkontrol. begitu pula dengan kaki dan tanganku. waktuku lepas begitu saja tanpa ada gunanya. siang dan malam datang silih berganti mengurungku dalam kedunguan. aku sama sekali tidak memanfaatkannya untuk memahami ilmu yang sebetulnya bisa menyampaikanku pada Sang Khaliq. ketika aku menginginkan sesuatu, hawa nafsulah yang memandu dan menguasaiku. aku mencela sesuatu, kulakukan berdasarkan hawa nafsu. hawa nafsu membuatku sibuk menelisik 'aib orang lain tanpa memperhatikan 'aibku sendiri. hawa nafsu membuatku berbangga diri dan membesar-besarkan urusan dunia dengan segala rona-ronanya, padahal semua itu sebenarnya anugerah Allah semata. nafsu membuatku sibuk mencari kedudukan disisi manusia. aku dicintai, tetapi juga dibenci. aku diperbincangkan dan disanjung-sanjung, namun juga dicemooh dan dilecehkan.

       Demikianlah yang terjadi pada diriku. begitulah nilai diriku. benarkah untuk semua ini aku diciptakan? apakah untuk tujuan ini Allah menundukkan alam semesta untukku?

       Tidak demikian! aku diciptakan bukan untuk hidup layaknya orang sekarang. aku memilik tujuan hidup yang jelas, menyangkut diri, keluarga dan umat ini. aku melihat, hari demi hari umat semakin terpuruk dalam kealpaan, satu sama lain saling bermusuhan, dan mereka telah berpaling dari Allah. sepertinya, tidak sedikitpun waktuku digunakan untuk mengangkat martabat umat ini. aku telah bersikap masa bodoh terhadap keadaan mereka. pura-pura tidak tahu bahwa darah mereka tumpah tanpa ada yang membela. mereka tercabik-cabik dalam konflik. tidak sedikit diantara mereka yang menghadap kepada Allah dengan cara yang justru membawa 'aib bagi mereka sendiri, menghadap kepada Nabi dengan cara yang justru membuat Beliau terluka. lalu, apa tugasku ditengah situasi buruk seperti ini? apakah aku akan hidup seperti ini terus? layaknya hewan ternak yang tidak memberiku nilai sama sekali? tanpa kerinduan kepada Allah? dan tanpa jerih payah untuk mendapatkan karunia-Nya? apakah aku takkan melangkah untuk membersihkan hati dan menjernihkan jiwa?  apakah aku akan membiarkan diriku dijemput ajal dalam keadaan seperti ini? dengan 'aib semacam ini? Dan, 'aib terbesar dari semua 'aib yang ada pada diriku adalah ketidak tahuanku terhadap 'aib ini.