Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekedar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya. Mohon do'akan kami semoga selalu istiqomah dalam kebaikan Perajurit Saba: Pembagian Tafsir Dari Segi Sumber, Metode dan Coraknya

Sabtu, 04 April 2015

Pembagian Tafsir Dari Segi Sumber, Metode dan Coraknya



I.              PENDAHULUAN

Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui sahabat  didaerah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri yaitu di Makkah, Madinah dan Irak.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadist namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadist, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadist dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn majjah, Ibn Jarir At-Thabari, Abu Baqar Ibn Al-Munzir An-Naisaburi dan lainnya. 

Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan pembahasan makalah ini dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya, tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut coraknya. 

II.           RUMUSAN MASALAH

1.             Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
2.             Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya
3.             Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

III.        PEMBAHASAN

1.             Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya

Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi Al-Ma’tsur dan Tafsir bi Al-Ra’yi

a.       Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan atau Sunnah sebagai sumber   penafsirannya. Contoh: 

1a)      Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karangan Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir Al-Qarsyi Al-Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir. 
2b)      Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary. 
3c)      Tafsir Ma’alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul,  karangan Al-Iman Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin Al-Farra’ Al-Baghawy Al-Syafi’i, dikenal dengan sebutan Imam Al-Baghawy.

b.      Tafsir bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya. Contoh: 

1)      Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.
2)      Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi
3)      Al-Kasysyaf’an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-Zamakhsyari.

2.             Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya

Para ulama Al-quran telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode penafsirannya menjadi empat macam, yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

a.       Metode Tahlili (Metode Analisis)

Secara bahasa, al-tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Maksudnya adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an. 

Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyikap seluruh maksudnya, mulai dari uraian, hingga sisi antar pemisah itu dengan bantuan Asbabul Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuannya ditunjukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini. 

b.      Metode Ijmali (Metode Global) 

Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar. Global dan penjumlahan. Maka dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. 

Metode Ijmali yang menafsirkan Al-Qur’an secara global. Dengan metode, ini muffasir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, dari orang yanf berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan luas. 

c.       Metode Muqaran (Metode Komparasi/perbandingan) 

Al-tafsir al-muqaran ialah yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi berbeda-beda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan. Juga termasuk ke dalam metode komporasi ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadis, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan. 

Al-tafsir al-muqaran juga bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan antara aliran-aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain, maupun perdandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian, maka bentuk-bentuk metode penafsiran yang dilakukan dengan cara perdandingan memiiki obyek yang luas dan banyak.

d.      Metode Maudhu’i (Metode Tematik)

Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu di dukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional. 

Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dlam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap, bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang munccul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat memberikan jawaban dengan konsep Al-quran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.

Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode maudhu’i. Langkah-langkah yang di maksud adalah sebagai berikut: 

 a)      Memilih atau menetapkan masalah al-qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
 b)      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat makkiyah dan ayat madaniyah.
 c)      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sebab al-nuzul.
 d)      Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
 e)      Menyusun tema bahasa dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
 f)      Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas. 

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.

3.             Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

Corak penafsiran yang dimaksut dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantaranya sebagai berikut: 

a.         Tafsir Shufi/isyari, corak penafsiran ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir isyari.
b.         Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur.
c.         Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi Al-Ra’yi.
d.        Tafsir ‘ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘ilmiy ini juga termasuk tafsir bi al-ra’yi.
e.         Tafsir al-adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al=adab al-ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengategorikannya sebagai tafsir bi al-izdiwaj (tafsir campuran), karena presentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar