Nama Al-Imam Asy-Syafi’i
adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat
(Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak
cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita
mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu
Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam
silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin
Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin
Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr
bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d
bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76,
472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan
Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu,
Kelahiran dan masa tumbuh
kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i
dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man
bin Tsabit Al-Kufi rahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran
beliau, ada tiga versi: Gaza,
Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit
Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga
versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa
Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman,
menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi
tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah
satu darinya.
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam
Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang
masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza,
Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias
yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang
benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup
mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil
ke bumi Hijaz. Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga
ibunya (keluarga Yaman). Di sana
pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga
pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan
sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar.
Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah
keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua
hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih,
hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat
dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian beliau unggul atas kawan-kawan
sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah
seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu-buru
menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan
kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga
akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas.
(Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi
Itsbatil Akidah, 1/22-23)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu
DiKota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami
ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun
demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana
menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari
sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di
perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu-
adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia
tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan
badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat
menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak
heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab.
Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul
Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik
bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim
bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i
kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi
menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran
sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang
menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka
berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau:
“Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari
fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i,
hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid
Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas
di Kota Madinah.
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari
satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya;
Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i
menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar,
Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr
Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada
usia dua puluh sekian tahun, -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas
menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota
Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas,
Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid,
Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian
ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam
bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad
bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’,
10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu
benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang
kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur.
Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata
pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an,
hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh
para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian
banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat
dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut
Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah
Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i
keliru dalam meriwayatkannya.
Al-Imam Abu Dawud
rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan
suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini
rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari
Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya
terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Sa’id
Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang
lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i
rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang
terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin
Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang
yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah
Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah
karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan
baik.”
Beliau juga berkata:
“Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab Manaqib
Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullahu disebutkan:
“Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah
bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu
bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau
sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah
dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang
tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir
Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah
(belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri
berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas
kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib
Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan
bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin
Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam
bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin
Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku
Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid
Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i
sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah
hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu
berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau
termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan
(qiraat) Al-Qur’an.”
Prinsip keyakinan
(manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih
jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:
a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang
teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm
(terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab
Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari
taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati
sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku
katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan
kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam
Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini
dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan
ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya
peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang
lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik
bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj
Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)
b. Hadits ahad dalam
pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah
selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal
hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471),
Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah
hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang
yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila
beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam).
c. Tauhid dalam pandangan
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya dan Sangat
mendalam pengetahuannya tentang tauhid. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan
contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di
antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini:
“Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi,
mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan
(sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah
mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat
dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang
lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu
menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya
sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya
dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan
ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari
Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk
dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang
ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu
maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada
yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti
bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa
tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi
melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya…”
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh
karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat
mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari
Islam), seperti bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan
sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal
tauhid sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
sahabatnya serta prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun
Maturidiyyahradhiyallahu ‘anhum. sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang
dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang
Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
d. Permasalahan iman
menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman
menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan).
Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun
sikap beliau terhadap pelaku dosa besar yang meninggal dunia dalam keadaan
belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah
dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah,
maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah
dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diazab maka akan
diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)
e. Permasalahan takdir
dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para
hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka
berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah
menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya
dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan
malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya,
penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar
adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum
muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah)
di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad
bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari
kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib
Asy-Syafi’i, 1/419)
f. Penghormatan Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui
lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum
pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi
para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi
atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena
itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus,
serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang
tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’,
ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu.
Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat
kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang
menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus
bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika
menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek
kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)
g. Sikap Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang
yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam
agama) dan ahlud dlolalah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr)
tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada
Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah
Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang
berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang
berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah,
1/480)
Akhir kata, demikianlah
sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan
kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia
di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.Rahimahullahu rahmatan
wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi
jannatihi. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz
Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Di luruskan oleh
perajurit saba