Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekedar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya. Mohon do'akan kami semoga selalu istiqomah dalam kebaikan Perajurit Saba: 2015

Jumat, 09 Oktober 2015

IKHLAS ITU , , ,

Ikhlas itu,,, ketika nasehat, kritik dan bahkan fitnah, tidak mengendorkan amalmu dan tidak membuat semangatmu punah.

Ikhlas itu,,, ketika hasil tak sebanding usaha dan harapan, tidak membuatmu menyesali amal dan tenggelam dalam kesedihan.

Ikhlas itu,,, ketika amal tidak bersambut apresiasi, tak membuatmu urung bertanding.

Ikhlas itu,,, ketika niat baik disambut berbagai prasangka, kamu tetap berjalan tanpa berpaling muka.

Ikhlas itu,,, ketika sepi atau ramai, sedikit atau banyak, menang atau kalah, kau tetap pada jalan yang lurus dan terus melangkah.

Ikhlas itu,,, ketika kau lebih mempertanyakan apa amalmu dibanding apa posisimu, apa peranmu dibanding apa kedudukanmu, apa tugasmu dibanding apa jabatanmu.

Ikhlas itu,,, ketika ketersinggungan pribadi tidak membuatmu keluar dari barisan dan merusak tatanan.

Ikhlas itu,,, ketika posisimu diatas, tak membuatmu jumawa. ketika posisimu dibawah tak membuatmu ogah bekerja.

Ikhlas itu,,, ketika khilaf mendorongmu untuk minta maaf, ketika salah mendorongmu untuk berbenah, ketika ketinggalan mendorongmu untuk menambah kecepatan.

Ikhlas itu,,, ketika kebodohan orang lain terhadapmu, tidak kau balas dengan kebodohanmu terhadapnya. ketika kezalimannya terhadapmu tidak kau balas dengan kezlimanmu terhadapnya.

Ikhlas itu,,, ketika kau hadapi wajah marah dengan senyum ramah, kau hadapi kata kasar dengan jiwa besar, ketika kau hadapi dusta dengan menjelaskan fakta.

Ikhlas itu,,, gampang diucapkan,, sulit diterapkan,, namun tidak mustahil diusahakan.

Setiap Yang Baru Bid'ah, Setiap Yang Bid'ah Sesat


       Diskusi tentang bid'ah bertitik tolak dari sebuah hadits Nabi : ''setiap yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat dineraka'' (HR. Muslim). setiap bid'ah itu sesat. titik. tidak ada bid'ah yang baik. bukankah sang Rasul mengatakan ''setiap''.

       Tetapi, tahukah anda bahwa kata ''setiap'' memiliki arti berbeda menurut ahli bahasa dan ushul fiqh?.  jangan coba-coba memaknai sebuah teks tanpa merujuk pada pendapat para ulama jika tidak mau umat ini tertimpa bencana besar. tidak sedikit orang yang dengan dalih mengikuti Nabi dan menjauhkan diri dari bid'ah malah terjebak oleh hal-hal yang sifatnya permukaan, tidak mampu menangkap isi sebuah pesan. sepanjang bulan dan tahun ia sibuk mengurusi orang lain. menuduh keluarga fulan ahlu bidah, keluarga fulan berbuat syirik, keluarga fulan begini, keluarga fulan begitu, kelompok ini kerjanya begini, kelompok itu kerjanya begitu. tidak pernah terlintas sejenakpun untuk merenungkan aib dirinya sendiri dihadapan Allah. selama ini, sudahkah ia bersimpuh seraya menghinakan dirinya dihadapan-Nya? sudah mampukah ia mengendalikan hawa nafsu dalam beriteraksi dengan sesama? ia malah tidak henti-hentinya mengurusi orang lain, seolah-olah dirinya hakim kepercayaan Tuhan yang diberi tugas memutuskan seluruh persoalan manusia.

       Mestinya, ia menengok kebelakang, menyimak apa yang dikatakan Al bukhori tentang hadits bid'ah tersebut. dalam kitab  fathul baari karya imam ibn hajar al asqalani, syarah terbesar dari kitab hadits shahih bukhari karya imam al bukhori ditegaskan bahwa dalam hal bid'ah berlaku lima hukum. jadi, ada bid'ah wajib, bid'ah sunah, bid'ah makruh dan bid'ah haram.

       Bid'ah wajib, misalnya, menulis buku atau literatur untuk membantah mereka yang menyerang islam dan menyesatkan kaum muslimin. termasuk bid'ah wajib, yang dilakukan sahabat abu bakar, yaitu menghimpun Al qur'an kedalam satu mushaf. sebelum melakukan itu, ia bermusyawarah dengan sahabat Umar. usai bermusyawarah ia memanggil Zaid ibn Tsabit ''kami bermaksud menghimpun Al qur'an dalam satu mushaf'' kata Abu bakar. ''tetapi ini tidak dilakukan Rasulullah. ini bid'ah'' tanggap Zaid. ''benar, tetapi ini baik. para penghafal Al qur'an banyak yang gugur dalam pertempuran menumpas kaum murtad. kami mencemaskan Al qur'an, meskipun Allah menjamin akan menjaganya''. jelas Abu bakar.

       Ini berarti bahwa berbuat sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah, namun disukai Allah, layak dilaksanakan. alasannya bukan semata-mata hal itu dilakukan oleh Abu bakar yang merupakan khalifah sehingga berhak menetapkan suatu sunah, melainkan juga karena sebab yang melatar belakanginya, yaitu adanya nilai kebaikan. ketika Zaid keberatan karena kodifikasi Al qur'an tidak dilakukan Rasulullah, Abu bakar beralasan, ''tetapi, ini baik''. cobalah anda renungkan, disitu ada nilai kebaikan yang dinyatakan secara tersurat dalam dalil syari'at yang sifatnya khusus, dan secara tersirat masuk dalam semangat dalil syari'at yang sifatnya umum.

       Jika ada buku yang isinya memojokkan Rasulullah, dan buku itu berpengaruh luas, maka kita wajib menulis buku sanggahan, meskipun hal ini tidak terjadi pada masa Rasulullah. walaupun waktu itu belum ada penulisan buku, tetapi sekarang menjadi wajib.

       Bid'ah sunah, misalnya mendirikan sekolah, khusus menghafal Al qur'an. apakah Rasulullah mendirikan sekolah seperti ini? apakah beliau mendirikan perguruan tinggi untuk mengajarkan syari'at islam? tidak, beliau tidak melakukan itu. apakah beliau mengumpulkan orang-orang? tidak, beliau hanya mengumpulkan sahabat. apakah tokoh-tokoh islam pada abad-abad pertama islam mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat terawih bersama, dan membaca Al qur'an dalam shalat terawih itu satu juz setiap malam hingga khatam pada terawih akhir ramadhan? bahkan, setelah mengumpulkan orang-orang dan mengerjakan terawih berjamaah sebanyak dua puluh raka'at, Umar berkata, ''ini adalah bid'ah yang baik''. Umar tidak menghatamkan Al qur'an dalam terawih itu, tidak juga membatasi khatam pada malam 29 atau 27 ramadhan. semua ini tidak terjadi baik pada masa sahabat maupun masa tabi'in. ini bid'ah, tapi bid'ah yang sunah.

       Menurut imam syafi'i, bid'ah yang terpuji adalah yang merujuk pada salah satu sumber agama. ini syarat pertama. kita harus mengacu pada sumber syari'at. syarat kedua, tidak menyalahi salah satu hukum Allah.

       Ada bid'ah yang diharamkan. inilah bid'ah yang dilarang Rasulullah, yang menyalahi syari'at beliau dan tidak memiliki sumber dalam agama. beliau bersabda, ''ada dua kelompok penghuni neraka yang tidak akan aku lihat mereka''. karena mereka melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah. ''kelompok pertama, laki-laki yang memukul orang lain dengan cambuk mirip ekor sapi. kelompok kedua, perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan gaya erotis dan sensual, serta memikat kaum lelaki dengan memperlihatkan tubuh, perhiasan, atau kecantikannya. mereka ini takkan masuk surga, bahkan takkan mencium aromanya. padahal, aroma surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian.(hadits ini banyak versinya).

       Itulah bid'ah yang dilarang Rasulullah. sebab, agama telah menetapkan dengan tegas bahwa wanita wajib menutup aurat mereka yang membuka aurat jelas menyalahi ketetapan ini. atas dasar inilah imam ibn hajar, sebagaimana halnya imam al nawawi dalam syarh shahih muslim-nya membagi bid'ah kedalam kategori hukum yang lima tersebut.

       Ringkasnya, ada bid'ah secara bahasa, ada juga bid'ah secara syari'at. secara bahasa, bid'ah artinya hal apa saja yang baru, tanpa ada batasan. ''setiap yang baru adalah bid'ah''. ini secara bahasa, dan disinilah berlaku hukum yang lima itu. ada bid'ah yang secara syari'at tidak memiliki sumber dalam agama. ''siapa saja yang berbuat bid'ah menyangkut hal-hal yang tidak termasuk urusan kami, maka itu ditolak''.

       Menurut ulama ushul, dibalik teks tersurat (manthuk al nash) terdapat pemahaman tersirat (mafhum al nash). ''siapa saja berbuat bid'ah menyangkut hal-hal yang tidak termasuk urusan kami, maka itu ditolak'', adalah arti tersurat, sedangkan arti tersiratnya, ''siapa saja berbuat bid'ah menyangkut sesuatu yang termasuk urusan kami, maka itu tidak ditolak''.

       Oleh karena itu, ketika menjelaskan hadits ini didalam syarh shahih muslim-nya, imam al nawawi - dan para ulama salaf pada umumnya - mengatakan bahwa untuk memahami hadits ini kita harus merujuk pada makna kata ''setiap''. secara bahasa kata ''setiap'' bermakna universal. tetapi dalam syari'at terkadang bermakna partikular, seperti dalam ayat ...ada seorang raja yang merampas setiap bahtera (Q.S Al kahfi. 79). kenyataannya, tidak setiap bahtera diambil raja. karena itu, khidir merusak sebagian kapal yang ia tumpangi agar terlihat buruk, sehingga raja tidak tertarik untuk merampasnya.

     


Seandainya kata ''setiap'' pada hadits tersebut kita pahami sebagai makna universal maka kita telah banyak sekali melakukan bid'ah, baik dalam soal agama maupun urusan dunia. sebab, kata ''setiap''  jika dipahami secara umum maka segala hal tercakup didalamnya. karenanya, kata ''setiap'' dalam hadits soal bid'ah itu dipahami partikular, bukan universal. maka arti bid'ah dalam hadits ''setiap yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat dineraka'' adalah bid'ah dalam hal yang buruk, yang melanggar prinsip dasar syari'at.

Rabu, 07 Oktober 2015

AKU TIDAK DICIPTAKAN UNTUK HIDUP SIA-SIA



       Tahun demi tahun terus berlalu, tetapi aku merasa sama sekali belum memahami ayat-ayat Al qur'an. belum satupun ayat merasuk kejiwaku. hari demi hari juga terus berganti. satu malam aku tangisi dosa, tapi sepuluh malam aku lupa. satu kali aku bertobat, namun berkali-kali aku rusak dengan maksiat. lidah, mata dan telingaku lepas tidak terkontrol. begitu pula dengan kaki dan tanganku. waktuku lepas begitu saja tanpa ada gunanya. siang dan malam datang silih berganti mengurungku dalam kedunguan. aku sama sekali tidak memanfaatkannya untuk memahami ilmu yang sebetulnya bisa menyampaikanku pada Sang Khaliq. ketika aku menginginkan sesuatu, hawa nafsulah yang memandu dan menguasaiku. aku mencela sesuatu, kulakukan berdasarkan hawa nafsu. hawa nafsu membuatku sibuk menelisik 'aib orang lain tanpa memperhatikan 'aibku sendiri. hawa nafsu membuatku berbangga diri dan membesar-besarkan urusan dunia dengan segala rona-ronanya, padahal semua itu sebenarnya anugerah Allah semata. nafsu membuatku sibuk mencari kedudukan disisi manusia. aku dicintai, tetapi juga dibenci. aku diperbincangkan dan disanjung-sanjung, namun juga dicemooh dan dilecehkan.

       Demikianlah yang terjadi pada diriku. begitulah nilai diriku. benarkah untuk semua ini aku diciptakan? apakah untuk tujuan ini Allah menundukkan alam semesta untukku?

       Tidak demikian! aku diciptakan bukan untuk hidup layaknya orang sekarang. aku memilik tujuan hidup yang jelas, menyangkut diri, keluarga dan umat ini. aku melihat, hari demi hari umat semakin terpuruk dalam kealpaan, satu sama lain saling bermusuhan, dan mereka telah berpaling dari Allah. sepertinya, tidak sedikitpun waktuku digunakan untuk mengangkat martabat umat ini. aku telah bersikap masa bodoh terhadap keadaan mereka. pura-pura tidak tahu bahwa darah mereka tumpah tanpa ada yang membela. mereka tercabik-cabik dalam konflik. tidak sedikit diantara mereka yang menghadap kepada Allah dengan cara yang justru membawa 'aib bagi mereka sendiri, menghadap kepada Nabi dengan cara yang justru membuat Beliau terluka. lalu, apa tugasku ditengah situasi buruk seperti ini? apakah aku akan hidup seperti ini terus? layaknya hewan ternak yang tidak memberiku nilai sama sekali? tanpa kerinduan kepada Allah? dan tanpa jerih payah untuk mendapatkan karunia-Nya? apakah aku takkan melangkah untuk membersihkan hati dan menjernihkan jiwa?  apakah aku akan membiarkan diriku dijemput ajal dalam keadaan seperti ini? dengan 'aib semacam ini? Dan, 'aib terbesar dari semua 'aib yang ada pada diriku adalah ketidak tahuanku terhadap 'aib ini.

Jumat, 25 September 2015

Tuhan, Siapalah Aku

Tuhan,,
Siapalah aku yang teramat kerdil dalam jagat kuasa_Mu
Tak pernah menjadi apa-apa
Pun tak memiliki apa-apa

Hanya, biarkan aku menjadi Aurora
Yang melesat dengan kokoh keangkasa
Meskipun separuh sayap terluka
Menuju tiang langit_Mu
Tanpa harus terkesiap dan terlena
Oleh ranum senja dan kerlip alpha centura

Tuangkan dalam cangkir jiwaku
Sebening cinta untuk mereka yang dicampakkan,
Disingkirkan, dipinggirkan
Karena AKU, DIA, MEREKA, KAMI
Sama dihadapan_Mu

Kau titahkan yang terbaik
Bukan ditentukan dari kelihaian berkata-kata
Karena kata-kata telah lama menghipnotis kami
Hingga kami terpanggang dalam kawah ketidak tahuan
Kebodohan

Menjelmakan kami sebagai
Ifrit-ifrit milenium
Sekumpulan manusia hipokrit tak tahu malu

Pun bukan pula ditentukan seberapa elok wajah
Dan bentuk tubuh kami
Karena itu semua semata-mata tak dapat kami elak
Engkau telah menentukan tanpa dapat kami memilih

Sebagimana kemuliaan juga tidak dapat diwariskan
Melalui darah, keturunan
Karena itu pun
Telah Engkau tentukan, tanpa dapat kami meminta

Kemuliaan dan penghargaan sejati itu pun
Tak terukur oleh limpahan harta
Karena acapkali semua itu membuat kami mendewakan dunia
Membutakan jiwa, melumpuhkan logika

Sebab,
Tangis bayi yang kelaparan,
Jerit ibu-ibu hamil yang tak punya sepeserpun uang,
Bapak-bapak yang kehilangan pekerjaan,
Serta para manula yang penyakitan
Tak sanggup mendobrak benteng keangkuhan dalam jiwa kami

Kami menjadi yang terbaik dan mulia karena
Dan hanya karena derajat ketaqwaan kami kepada_Mu
Maka kuatkanlah kami untuk meneguhkan hati
Untuk senantiasa bersujud kepada_Mu
Memancarkan nur cinta_Mu
Dialtar jiwa mereka yang terluka

Hingga kami mengerti,
Betapa penghormatan
Dan setitik keangkuhan
Tak layak kami sandang

Duh Gusti,
Singkirkan arakan awan keangkuhan dalam jiwa kami
Agar kami kembali kepada_Mu
Dengan menenteng ranumnya amal dan pengabdian

Aku milik_Mu Tuhan
Aku bukan siapa-siapa
Aku tak punya apa-apa

(dari novel ning aisya)

Untuk Sahabat

Sahabat,
Pertemuan kita tak pernah terlintas dipikiran
Semua yang terjadi seperti suatu kebetulan
Ku bagai menemukan tempat kediaman
Dimana ku dapat suatu perlindungan

Selama ini ku selalu dirundung kesedihan
Tiada sapa tau hatiku yang sering mengalir tangisan
Wajah yang selalu menunjukkan keriangan
Namun hati yang tau hanya kau.. Teman,,

Andaikan ku temui insan yang dapat
Membahagiakan dan menghilangkan
Segala kepiluanku

Sahabat,.,
4 tahun kita bersama
4 tahun kita bersahabat
4 tahun kita berbagi

Teringat akan masa lalu yang ku lalui bersama kalian
Semua terasa begitu indah
Saat kita saling menatap
Saat kita saling tertawa
Pun saat kita saling bertengkar
Semua terasa begitu cepat

Sahabat,.,
Meski timur menghadap utara
Meski bumipun terbelah dua
Sampai bintang runtuh dari angkasa
Kau dan aku selamanya bersahabat

Sikap rendah hati, uluran persahabatan,
Gurat keluguan, pancaran kecerdasan, raung keberanian,
Sahabat,.,
Aku merindukan itu dari kalian

Hai sahabat,.,
Ku gali matamu
Ku temui bintang jatuh
Ku jumpai nautika biru membentang
Ku jumpai telaga biru beriak pelan

Kini semua telah menghilang
Dan menjadi sebuah kenangan

Terimakasih sudah bersedia menjadi sahabatku
Dan maafkan atas pertemanan yang jelek

Sahabat,.,
Mungkinkah kau mau mengulang kembali
Kenangan itu bersamaku lagi?

Sahabat,.,
Andai kita tak lagi berjuang bersama-sama
Kita masih tetap bisa sama-sama berjuang

Sahabat,.,
Jika hari esok bukan lagi milik kita
Tolong, maafkan saya ya,,!

Kamis, 24 September 2015

Siapakah Kaum Sufi itu?

 Memahami kaidah hukum syari'at
  
        Dari mana datangnya kerancauan berfikir yang diidap banyak orang sekarang,sampai mereka ragu menapaki jalan menuju Allah? ada yang mengatakan ''aku suka sekali membaca shalawat untuk Nabi''. yang lain mengatakan ''aku telah merasakan nikmatnya membaca shalawat untuk Nabi. Ada perasaan lembut.takut, dan cinta yang mengalir kelubuk kalbuku.'' Tidak jarang air mata berlinang saat membaca sejarah hidup Rasulullah. Tetapi, sebagian kawan menegur, ''jangan berlebihan, jangan terlalu banyak membaca shalawat kepada Nabi. aku khawatir kamu melampaui batas dan terjerumus kedalam praktik bid'ah. itu ulah kaum sufi''

       Omongan apa itu? apakah ia tidak pernah mendengar sabda Nabi ''siapa saja yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan menurunkan rahmat kepadanya sepuluh kali. siapapun yang bershalawat kepadaku sepuluh kali maka Allah akan menurunkan rahmat kepadanya seratus kali. dan, siapa saja yang bershalawat kepadaku seratus kali maka Allah akan menurunkan rahmat kepadanya seribu kali''

       Dalam riwayat At Tirmidzi disebutkan bahwa seorang pria menemui Rasulullah saw kemudian bertanya ''wahai rasulullah berapa kali aku harus bershalawat kepadamu?'' ''terserah engkau'' jawab beliau ''aku akan bershalawat seperempat. seperempat dari waktuku, seperempat dari ketaatanku, setelah mengerjakan yang fardlu, akan aku sempatkan untuk bershalawat kepadamu.'' ''terserah engkau. jika engkau tambah, itu lebih baik,'' tanggap beliau. ''jika sepertiga?'' tanya laki-laki itu. ''terserah engkau, jika engkau tambah, itu lebih baik,'' tanggap beliau. ''jika setengah wahai rasulullah?'' tanya laki-laki itu lagi. ''terserah engkau, jika engkau tambah, itu lebih baik.'' tanggap beliau. ''kalau begitu, aku jadikan seluruh waktuku untuk bershalawat kepadamu, wahai Rasulullah.'' maksudnya, seluruh waktu dan ketaatanku setelah mengerjakan shalat fardlu, shalat sunah rawatib, dan membaca Al qur'an akan kusibukkan dengan bershalawat kepadamu.

       Apa yang membuat sebagian saudara kita itu ragu? ''apa yang dikatakan kawanku itu membuatku ragu'' kata mereka. kenapa mereka ragu? karena mereka tidak meminta penjelasan lebih lanjut kepada orang yang kompeten berbicara tentang perintah dan larangan Allah. siapa yang dapat kita terima ketetapan hukumnya dan dapat kita percaya?. hukum tidak bisa diterima dari sembarang orang. ada prinsip yang harus dipenuhi. prinsip yang tidak semata didasarkan pada jenis kitab, keindahan kata-kata, atau media informasi yang ada. tetapi lebih pada prinsip; dari siapa suatu ilmu berasal? siapa gurunya? dari siapa sang guru mendapatkan ilmu itu? begitu seterusnya sehingga sanadnya bersambung. sebab, bagi umat islam, bukan hanya sanad dari teks hadits yang harus diperhatikan, melaikan juga pemahaman dari teks hadits tersebut. perhatikanlah hal ini baik-baik, supaya kalian benar-benar memahami.

       Misalnya, ketika kita menerima sebuah hadits dari orang-orang, maka kita tanyakan sanadnya. jika mereka mengatakan hadits itu shahih, maka kita tanyakan lagi siapa rawinya? jika mereka menjawab, imam al bukhari atau yang lainnya, maka kita tanyakna hadits itu berbicara tentang apa? misalnya, hadits yang berbunyi, ''siapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudlu''. kalau begitu makan daging unta membatalkan wudlu? tentu saja, bukankah teks haditsnya jelas? padahal, menurut imam syafi'i dan imam malik, makan daging unta tidaklah membatalkan wudlu. bagaimana kedua imam ini bisa berpendapat begitu? sementara teks hadits itu jelas-jelas menyuruh untuk berwudlu yang tiada lain berarti menbatalkan? kalau begitu, imam syafi'i dan imam malik menyalahi Nabi?

       Sebagai jawaban, cobalah anda renungkan lebih dahulu, jangan sembarang menudduh mereka bagitu. masalahnya tidak sebatas teks hadits, tetapi darimana anda memperoleh pemahaman mengenai hadits tersebut?. tidak cukup karena hadits itu shahih, lalu kita jadikan sebagai rujukan. siapa tahu hadits itu memang shahih tetapi sudah dimansukh (dibatalkan hadits lain). siapa tahu juga ada hadits shahih lain yang lebih kuat. atau, ada hadits kedua yang menafsirkan hadits pertama. itulah kenapa diperlukan suatu rumusan yang menjadi prinsip pengambilan hukum dari sebuah hadits.

       Bagaimna dengan kasus imam syafi'i diatas? apa yang ia pahami dari hadits tersebut? menurutnya, Nabi menunjukkan hal itu hanya kepada salah seorang sahabat. dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada sala seorang sahabat makan daging unta, lalu buang angin. rupanya, Beliau tidak ingin membuat orang itu tersinggung dengan mengatakan ia sudah buang angin. maka Beliaupun bersabda, ''siapa saja yang makan daging unta, hendaklah ia berwudlu.'' terbukti pula bahwa dalam riwayat lain Rasulullah sendiri makan daging unta lalu mengerjakan shalat tanpa berwudlu lagi. berbeda dengan imam ahmad ibn hambal yang berpegang dan mengambil cukup pada teks lahir hadits. dua-duanya benar tidak salah.

       Jadi, apabila pemahaman kita terhadap teks hadits dirujukkan kepada pendapat para imam yang jelas sambungan penerimaan sanadnya maka pasti pemahamannya akan benar. tetapi, apabila pemahaman kita disandarkan semata-mata atas apa yang kita lihat dari lahiriah teks, hal ini perlu dipertimbangkan ulang dan diwaspadai. karena itu, salah seorang ulama mengatakan, ''cermatilah orang yang kamu jadikan rujukan dalam agamamu. jika kami duduk bersama guru-guru kami disuatu majelis, lalu mereka akan mulai membaca kitab, mereka berkata 'ini kitab al bukhari, mari kita baca. kita sedang berada dimajelis al bukhari,'' salah seorang dari mereka berkata, ''aku menerima hadits ini dari imam al bukhari melalui ayahku, atau guruku, fulan. guruku menerima dari gurunya, fulan.'' begitu seterusnya, ia menyebut sanad hadits itu sampai imam al bukhari selaku perawi hadits tersebut. setelah itu, ia berkata. ''ayahku -atau guruku- mengatakan bahwa maksud hadits ini begini, sebagaimana dikatakan gurunya, dari gurunya, dari gurunya lagi.'' begitu seterusnya, hingga sampai kepada salah seorang imam terkemuka, seperti penulis syarah kitab shahih al bukhari. dengan demikian, baik teks hadits maupun pemahaman mengenai hadits tersebut diterima melalui sanad yang sambung hingga sampai pada sumber aslinya, Rasulullah.

       Kemudian, jika kita renungkan, jika kita saksikan sanad hadits dari imam al bukhari atau muslim, bagaimana keberadaan mereka? apakah mereka menggunakan metode ini atau metode itu? coba kita renungkan sejarah kehidupan para rawi hadits al bukhari, muslim dan imam-imam hadits yang empat (at tirmidzi, abu daud, an nasai dan ibn majah ), sumber kita mengambil sanad al qur'an. bagai mana akidah mereka? bagaimana suluk mereka kepada allah? bagaimana pemahaman mereka terhadap teks hadits? kita tidak menjumpai dalam sejarah hidup para imam itu kecuali bahwasanya mereka banyak membaca shalawat kepada Nabi. mereka sangat mencintai Nabi, sangat bergantung kepada Beliau. masing-masing memiliki karamah. mereka ahli ibadah malam, ahli puasa pada siang hari. mereka semua berpegang pada prinsip yang kita dengar sekarang ini banyak dilanggar. prinsip yang sekarang banyak dibicarakan.

       Bagaimana dengan penulis syarah hadits? al hafidz ibn hajar, imam an nawawi, penulis tuhfatul ahwadzi (al mubarakfuri), al hafidz imam as suyuthi, al hafidz zainuddin al iraqi, al hafidz as subki, dan al hafidz as sakhawi, mereka pada umumnya penganut madzhab  al asyi'ariyah dan al maturidiyah. mereka adalah para penganut madzhab, entah itu madzha as syafi'i, maliki, hanafi, atau hanbali, madzhab yang saat ini dicemooh sebagian orang. mereka umumnya ahli tasawuf, yakni mereka yang menempuh jalan penyucian hati.

       Sekarang kita sering mendengar orang yang mencela dan melecehkan tasawuf. tasawuf dibuat dengan kesan buruk dimata umat. jika bermaksud menistakan seseorang, mereka mengatakan, ''sifulan ini seorang sufi, hati-hati. lidahnya tajam dan mampu menorehkan pengaruh yang amat dalam dihati setiap orang yang mendengarkan. sayang, ia seorang sufi, jangan dengarkan kata-katanya.''

   
 Timbangan baik buruk kini telah berbalik. bahkan, ditangan orang-orang yang menjadi sumber ilmu. padahal, dalam syarah shahih muslim jilid pertama, kita jumpai bahwasannya imam an nawawi setiap selesai memaparkan biografi rawi, dan bermaksud memberikan pujian, beliau selalu berkata, ''ia seorang sufi, ia termasuk golongan sufi.'' mereka adalah para imam besar generasi salaf shaleh, yang bangga memiliki hubungan denga ahli tarekat.

Siapakah kaum sufi itu?

       Mereka adalah sekelompok orang yang menuju Allah melalui penyucian hati. mereka mutiara umat. mereka adalah intisari dari generasi tabi'in, bahkan hingga generasi shaleh sekarang ini. mereka yang berbicara tentang ahli ibadah dan orang-orang shaleh bangga bahwa dirinya memiliki ikatan dengan kaum sufi. bahkan imam ibn taimiyanh, yang sering dijadikan hujah untuk mengecam kaum sufi, kaum shaleh dan para imam awal, dalam karyanya, al fatawa, merasa terhormat dirinya memiliki hubungan sanad dengan imam Abdul qodir al jailani.

       Ibn qayyim yang juga sering mereka jadikan peluru untuk menembak kaum sufi, malah menulis tiga jilid kitab tentang tasawuf, yaitu; madaariju saalikiin fii syarh manaazili saairiin. imam ahmad ibn hanbal menulis kita al zuhd. al hafidz imam al dzahabi menulis siyar a'laam al nubalaa yang tidak hanya mendedah biografi para imam hadits, tetapi juga para imam besar tasawuf. ada juga kitab shifat al shofwah karya imam ibn al jauzi. cobalah anda baca kitab yang terakhir ini, disitu akan anda jumpai riwayat hidup para imam besar tasawuf generasi awal. jika orang mengetahui yang sebenarnya tentang mereka, pasti yang terjadi sebaliknya. bukannya mencerca, ia malah akan menyanjung dan memuji mereka.

       Oleh karena itu, dalam rangka ittiba' kepada Nabi, seyogyanya kita memahami dan mewaspadai orang yang akan kita ambil pendapatnya. kita mesti merujuk pada literatur-literatur lama yang ditulis para ulama salaf shaleh, merujuk kepada para perawi hadits dalam literatur-literatur tersebut. kita juga harus berdo'a secara sungguh-sungguh kepada Allah agar membukakan pintu kehati-hatian dan kewaspadaan sehingga kita akan mendapatkan penjelasan yang memadai.

       Anda jangan hiraukan omongan orang-orang yang lancang kepada Allah dan Rasulnya, menentang agama dan tidak menaruh hormat kepada orang-orang shaleh. omongan mereka tidak bisa dijadikan hujjah bagi umat, karena didasarkan atas sejumlah kesalahan, atau dinukil dari orang-orang yang mengaku sufi atau mereka nisbatkan dengan kaum sufi. hujjah harus didasarkan atas pendapat ulama salaf. cobalah anda baca shifah al shafwah karya ibn al jauzi. disitu akan anda jumpai penjelasan tentang tasawuf tingkat tinggi. para imam tasawuf telah menjadi sumber inspirasi bagi imam al jauzi untuk menulis kitab tersebut. bacalah juga siyar a'laam al nubalaa karya al hafidz al dzahabi yang mendedah hidup para sufi yang paling berpengaruh, misalnya ma'ruf al kurkhi. disitu disebutkan bahwa ia menerima keterangan dari imam ali al ridha, putra imam musa al kadzim, putra imam ja'far as shadiq, putra imam ali zainal abidin, putra imam al husain, cucu Rasulullah. kemudian al dzahabi memberi komentar, ''kuburan ma'ruf adalah obat penangkal yang mujarab.''. kepada kuburan saja ia memuji seperti itu, apalagi kepada orang yang ada didalamnya.

       Begitulah keadaan para imam hadits yang bergelar al hafidz, yang kadang-kadang mereka tuduh benar, kadang salah. bahkan ketika menyangkut akidah, mereka mengatakan para ulama shaleh itu salah semua. jadi, menurut mereka, akidah ibn al jauzi itu salah. akidah imam al nawawi itu salah, karena ia menulis sejarah hidup guru-gurunya yang meriwayatkan hadits sampai kepada imam muslim dan menyebut mereka sebagai sufi. akidah imam al dzahabi salah. akidah imam al suyuthi salah. demikian pula akidah imam al subki, imam al sakhawi, imam ibn hajar, serta semua imam madzhab yang merujuk kepada kaum sufi dan memegang ucapan-ucapan mereka untuk melembutkan hati. kisah imam ahmad ibn hanbal bersama bisyr al hafi dan al harits al muhasibi adalah slah satu yang sangat populer. begitu pula dengan imam al syafi'i, imam malik dan imam abu hanifah. jika ulama salaf shaleh hendak memuji seseorang, mereka mengatakan, ''ia sufi.'' dalam pengertian, ia benar-benar telah menempati maqam ihsan.

       Kami takkan pernah tinggal diam menghadapi orang-orang yang berupaya untuk meragukan kaum sufi. jika mereka mengatakan, ''jauhi kaum sufi,'' maka kami akan mengatakan, ''takkan pernah.''. ini benar-benar meresahkan umat. saat ini sedang gencar diupayakan untuk mengubah citra kaum sufi dihati umat. bahwa kaum sufi itu salah, sesat, syirik, dan kafir. sementara, pada saat yang sama, kaum yahudi terus berupaya mengukuhkan diri ditengah-tengah kita. jika mereka menuduh kaum sufi itu syirik dan sesat, berarti mereka tidak percaya kepada al qur'an dan hadits yang ada sekarang. kenapa? karena seluruh sanad atau rantai riwayat al qur'an dan hadits yang sampai pada kita sekarang penuh dengan kaum sufi. setiap periwayatan bacaan al qur'an yang tujuh (qira'ah sab'ah) -atau yang sepuluh (qira'ah asyrah)-  pasti didalamnya ditemukan imam sufi. maka, jika benar mereka musyrik dan sesat, al qur'an yang kita terima sekarang patut diragukan, sebab ia diriwayatkan orang-orang yang buruk dan sesat. kita berlindung kepada allah dari hal semacam itu. siapa yang bisa mengakses shahih al bukhari dan shahih muslim serta kitab-kitab hadits lainnya tanpa melalui perawi yang bukan sufi? jika ada yang mengatakan mereka musyrik, mereka kafir, dan kita diam saja, ini artinya bencana akan mengancam generasi setelah kita. yang mereka tahu tentang para sufi kemudian adalah bahwa mereka kafir dan sesat.

       Sekarang ini, kita seperti malas bertindak. padahal diluar sana, melalui khutbah, kaset, dan buku-buku, berbagai kebohongan tengah dihembuskan sekelompok orang yang tidak menjaga ketaqwaan kepada Allah saat berbicara tentang orang-orang shaleh. berbagai tuduhan miringpun diarahkan kepada kaum sufi. jika ini dibiarkan, tentu generasi setelah kita akan berkesimpulan bahwa al qur'an dan hadits yang mereka terima tidak dapat dipercaya, karena diriwayatkan kaum sufi yang mereka ketahui kafir dan sesat. ini berbahaya, karena langsung menohok soal autentisitas al qur'an dan hadits. segenap kaum muslimin perlu mewaspadai dan memperhatikan benar-benar soal ini.

       Memang, saya akui saat ini ada beberapa orang yang disebut-sebut sebagai sufi, tetapi sebenarnya mereka ini sesat dan lepas dari rel tasawuf. tetapi, tentu saja hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menepis setiap pembicaraan tentang tasawuf. apakah karena ada penghafal hadits atau ahli hadits yang memalsukan hadits lalu kita mencela ilmu hadits? apakah karena ada sebagian ahi fiqih yang mengeluarkan fatwa demi penguasa lalu kita mencerca ilmu fiqih? apakah karean ada sebagian ulama tauhid yang cenderung membuat suatu masalah mengambang, mengaburkan, dan keluar dari akidah yang benar lalu kita akan memaki ilmu tauhid? tentu saja tidak.

       Begitu pula dengan tasawuf. kita tidak bisa mencelanya. kita tidak bisa menistakan tasawuf dengan alasan beberapa sufi salah dalam ungkapan dan kata-katanya. kita hanya perlu hati-hati. sebagaimana tauhid diperlukan untuk meluruskan akidah, dan fiqih untuk meluruskan pola hubungan dan ibadah, tasawuf juga diperlukan untuk meluruskan sisi batin akidah dan pola hubungan dengan Allah. sisi batiniah akidah adalah keyakinan, sedangkan sisi batiniah hubungan dengan allah adalah ikhlash. tawaduk dan santun bersamanya. semua ini tidak bisa dicapai kecuali dengan tasawuf.

       Apabila diantara kita ada yang mengatakan, ''aku belum pernah membaca satu buku/ tulisanpun tentang tasawuf,'' benarkah demikian? apakah karena sering mendengar informasi miring tentang tasawuf? karena tasawuf sering seenaknya saja mengatakan tentang tuhan? bagaimana dengan tulisan yang sedang anda baca ini? apakah tulisan ini dipandang penting dan dibaca? ini termasuk pelajaran tasawuf. apakah disini kalian menemukan hal yang menyimpang dari agama? atau, pertanyaan ini mungkin lebih tepat, apakah kalian yakin perjalanan menuju Allah dapat ditempuh tanpa ilmu taswuf? tanpa menerapkan keikhlasan dan meninggalkan riya'? kita benar-benar takkan dapat berinteraksi secara baik bersama Allah tanpa mengikuti prinsip tasawuf.

       Bagaimana dengan istilah tasawuf itu sendiri? bukankah itu tidak berasal dari Nabi? bukankah beliau tidak pernah menyebut kata sufiyyah (sufi, tasawuf)? pertanyaan ini benar-benar bodoh! mari kita cermati, apakah beliau pernah menyebut muhaditsun (para ahli hadits)? menyebut huffadz (para penghafal hadits atau al qur'an)? menyebut ushuliyyuun  (para ahli ushul)? menyebut syeikh al islam (pemuka islam)? menyebut al mufti (juru fatwa)? beliau tidak pernah menyebutkan semua istilah itu, tetapi umat menyebutkannya. munculnya istilah tidak dapat ditolak. masalahnya bukan terletak pada nama, melainkan pada subyek yang diberi nama.

       Mudah-mudahan Allah merahmati mediang Abu al hasan al nadwi , salah seorang ulama sufi pemikir masa kini, penganut tarekat al qadiri. dengan membuat perumpamaan, ia mengatakan, ''ada sebuah makanan diindia'' kemudian dia akan menyebutkan bahan-bahan makanan itu. karena kita tidak mengenal makanan india, kami akan membuat perumpamaan yang mirip dengan makanan itu. jika seseorang ditanya pendapatnya tentang mentimun, ia akan mengatakan, ''mentimun baik untuk kesehatan,'' tentang wortel, ia akan mengatakan, ''wortel baik untuk mata,'' tentang tomat ia akan mengatakan, ''tomat itu mengandung vitamin ini dan itu,''. bagaimana dengan lalapan? ''oh, tidak! lalapan itu berbahaya!'' bukankah lalapan itu isinya tomat, mentimun dan wortel?

       Bagaimana dengan zuhud? ''masya allah ini pangkal agama. ini sangat penting!'' bagaimana dengan wara'? bagaimana dengan tawakal? bagaimana dengan keyakinan? bagaimana dengan khauf (takut kepada allah)? bagaimana dengan raja' (harapan kepada allah)? bagaimana dengan membersihkan diri dari riya: riya besar maupun riya kecil? dari ujub? dari takabbur? ''masya allah, itu semua wajib hukumnya.''

       Lalu, bagaimana dengan tasawuf? ''tidak, tidak, tidak! jangan katakan itu padaku. aku tidak mau tasawuf!'' sebuah jawaban yang benar-benar bodoh! sangat bodoh!. saat ini, waktu kita banyak tersita hanya untuk menegaskan bahwa tasawuf itu benar. padahal, daripada kita duduk dan membahas panjang lebar apakah tasawuf itu benar atau salah, lebih baik kita langsung menempuh jalan tasawuf yang benar. daripada kita membuang-buang waktu untuk membahas apakah ini baik atau buruk, apakah ini benar atau salah, yang hanya akan menguras energi hanya untuk sekedar memahami yang hakiki, lebih baik kita langsung bertindak. agama bukan sekedar untuk dipahami, melainkan lebih dari itu, untuk diamalkan dalam kehidupan.

Minggu, 05 April 2015

Al imam As syafi'i

     Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:

     Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu,

 Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu 

     Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.

     Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya.

     Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.

     Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz. Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).

     Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian beliau unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu-buru menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”

     Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)

Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu

     DiKota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.

     Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah.

     Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.

     Pada usia dua puluh sekian tahun, -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)

Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat 

     Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:

Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:

Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”

Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”

Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”

Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”

Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”

Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”

Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”

Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”

Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:

Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”

Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”

Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”

Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”

Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

     Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:

     “Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”

     “Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

     Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya dan Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

     Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”

     Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)

     Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya  serta prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyahradhiyallahu ‘anhum.  sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)

d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

     Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)

     Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

     Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)

     Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat

     Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlud dlolalah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)

     Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)

     Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Di luruskan oleh perajurit saba

Sabtu, 04 April 2015

Cabang-Cabag Ulumul Hadits

Banyak sekali cabang ilmu hadis maka para ulama meng hitungnya beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya ada 65 cabang dan ada pula yang menghitungnya 10 hingga 6 cabang,tergantung kebutuhan atau kepentingan penghitung itu sendiri.Ada yang menghitungnya secara terperinci dan secara global.

Cabang-cabang ilmu hadis yang terpenting baik dilihat dari segi sanad dan matan dapat di bagi menjadi beberapa macam cabang, antara lain : (4)

1) Ilmu Rijal Al-Hadits

Adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi. Ilmu Rijal Al-hadits dibagi menjadi dua, yaitu Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah dan Ilmu Al-Jarh wa Tadil.

~ Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat, peristiwa/kejadian dan lain-lain.
Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadis dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka,siapa guru-gurunya atau siapa mereka menerima sunnah dan siapa murid-muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits,baikdari kalangan para sahabat,tabiin, dan taabi tabiin. Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau tidaknya sanad suatu hadits.

~ Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil

Dr.Shubhi Ash-Shalih memberikan definisinya yaitu :Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka,dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunankan kata-kata khusus.

Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-tadil) seorang perawi dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan,kecacatan dan atau ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits.

2) Ilmu Ilal Al-hadits

Dalam bahasa al-illah diartikan al-maradh = penyakit. Dalam istilah ilmu hadits Ilmu Ilal Al-Hadits adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara lahirnya tidaknampak adanya cacat tersembut.

Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengtahui siapa diantara periwayat Hadits yang terdapat illat dalam periwayatannya,dalam bentuk apa dan dimana illat tersebut terjadi, dan pada sanad pada matan.

3) Ilmu Gharib Al-Hadits

Adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia,karena tidak umum dipakai orang Arab.

Tujuan ilmu ini untuk mengetahui  mana kata-kataa dalam hadits yang tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam hadits tersebut.

4) Ilmu Mukhatalif Al-Hadits

Dr.Mahmud Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa Mukhatalif Al-Hadits adalah Hadits makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.

Tujuan ilmu ini mengetahui hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagimana pemecehannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam menyikapi hadits-hadits yang kontra tersebut.

5) Ilmu Nasikh wa Mansukh

Menurut ulama ushul fiqih, nasakh aadalah Pembatalan hukum syara oleh syari (pembuat syariat) dengan dalil syara yang datang kemudian.
Ilmu Nasikh wa Mansukh menurut ahli hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan yang dinasakh.

Tujuan mempelajariilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari hadits dalam bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi nasikh mansukh.

6) Ilmu Fann Al-Mubhamat

Ilmu Fann Al-Mubhamat adalah ilmu yang membicarakan tentang seseorang yang samar namanya dalam matan atau sanad.

Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar-samar atu tersembunyi.

7) Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits

Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menerang kan sebab-sebab datangnya hadits dan beberapa munasabahnya (latar belakang).

Tujuan ilmu ini adalah mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya suatu hadits,sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki

8) Ilmu Tashhif wa Tahrif

Adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushahaf) atau dirubah bentuknya (muharraf).

Tujuannya,mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabith-an seorang perawi.

9) Ilmu Mushthalah Al-Hadits

Adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal antara mereka.

Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset hadits,karena para para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.

****Dari uraian singkat mengenai Ilmu Hadits, perkembangan, dan cabang-cabangnya, dapat kita simpulkan:

~ Al Quran dan hadits merupakan petunjuk dan pedoman hidup umat Islam. Jika kedua pedoman itu dipegang teguh dalam mengarungi dunia, umat islam akan selamat sejahtera dunia akhirat, demikian pula sebaliknya, umat islam akan tersesat jika  Al Quran dan Hadits ditinggalkan.

~ Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al Quran, maka kajian-kajian dalam berbagai disiplin ke-Islam-an seperti: Akidah, Akhlaq, Syariah, dan Muamalah harus mengacu pada Hadits Rasul (setelah Al Quran). Bagi umat Islam dan khususnya mereka yang menekuni study ke-Islam-an , dipandang sangat perlu menguasai Al Quran dan Hadits secara mendalam, sehingga dalam menentukan hukum dalam berbagai masalah ke-Islam-an benar-benar dapat dipertanggungjawabkan baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia.

~ Untuk memahami Hadits secara mendalam, harus menguasai Ilmu Hadits. Dengan memahami Ilmu Hadits, akan diketahui kualitas suatu hadits, apakah Shahih, hasan, atau dhaif. Selain itu juga dapat mengetahui jenis dan bentuk hadits dan sumber hadits apakah benar-benar dari Nabi atau bukan.

Perkembangan Ulumul Hadits

Pada masa  sahabat dan masa tabiin, kebutuhan akan ilmu semakin terasa. Ini disebabkan karena Rasul SAW sudah wafat, sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis yang hanya didengar atau disampaikan oleh seseorang saja, lebih-lebih ketika umat islam memulai upaya mengumpulkan hadis.
Pada masa tabiin, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Syihab az-Zuhri (51-124 H). Ini diperlukan sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya sebagai pengumpul hadis atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd Al-Aziz. Dari sini, ilmu hadis mulai terlihat keberadaannya, meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.

Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah tersebut semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Dalam hal ini, dapat dilihat misalnya para ulama/imam mazhab fikih yang juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini. Kemudian, lebih berkembang lagi dengan hadirnya para ulama mudawwin hadis, seperti Malik bin Anas, al Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tutmudzi, an-NasaI, dan Ibn Majah. Meskipun karya-karya mereka masih berserakan dalam bentuk risalahnya-risalahnya.
Setelah itu, muncul Abu Nuaim Ahmad bin Abdillah al-Asfahani (336-430H) dengan kitabnya al-mustakhraj ala Marifah Ulama al-Hadits. Dalam kitab ini mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Marifah Ulama al-Hadits karya al-Hakim. Berikutnya, Al Khatib al-Bagdadi Abu Bakar Ahmad bin Ali (463 H) dengan kitabnya yang terkenal ialah Al-Kifayah fi Quwanin ar-Riwayah. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis dan kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya ialah Al-Jamili Adabi Asy-Syekh wa as-Sami. Menurut Abu Bakar bin Nuqtah, para ulama muhadisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khathib al-Bagdadi, menginduk pada kitabnya.

Masa penyempurnaan penyusunan Ilmu Hadits dimulai Abad ke-7 sampai Abad ke-10H. Dimasa ini telah dihasilkan beberapa karya dalam Ilmu Hadits, salah satu yang terkenal adalah Ulum Al Hadits yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah Ibn Al-Sholah, karya Abu Amr Usman bin Abdurrahman Asy Syahrazuri. Kitab ini selanjutnya diberi Syarah dan dibuat mukhtasarnya oleh ulama generasi berikutnya.

Selain masa kemajuan Ilmu Hadits, juga terjadi masa kemunduran pada Abad ke-11 hingga beberapa tahun lamanya. Pada masa tersebut, hampir tidak ditemukan ijtihad dan penyusunan Ilmu hadits oleh para ulama. Pada akhirnya kitab-kitab Ilmu Hadits kembali bermunculan. Beberapa diantaranya adalah: Qawaid At-Tahdits oleh Jamaluddin Al Qasimi, Tarikh Futun Al-Hadits oleh Abdul Azis Al Khauli, dan beberapa karya Ilmu Hadits yang lain.

Pengertian Ulumul Hadits

Hadits adalah sumber ajaran Islam setelah Al Quran yang bersumber dari Rasulullah SAW, berupa siafat-sifat, ucapan, perbuatan, ataupun taqrir. Berbagai permasalahan muncul setelah Rasulullah SAW wafat, dikarenakan larangan penulisan Hadits di masa Rasulullah SAW. Dengan larangan penulisan hadits, maka para sahabat hanya mengandalkan hafalan, hal tersebut menjadi kelemahan bagi para shahabat  yang hafalannya lemah. Selain itu, penerimaan hadits dari Rasulullah SAW juga beragam, tidak semua sahabat menerima hadits dalam waktu bersamaan.

Keadaan tersebut menuntut para ulama bekerja keras, melakukan penelitian secara ketat terhadap Hadits Rasulullah SAW. Terlebih banyaknya hadits palsu (maudhu) yang bermunculan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Para ulama membuat kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan, dan acuan untuk menilai hadits-hadits yang ada. Kaidah, ketentuan dan acuan  tersebut yang dikembangkan menjadi ilmu hadits.
Ilmu hadits sudah ada sejak periode Rasulullah SAW. Para Sahabat memahami segala ucapan dan perbuatan, serta mendengarkan dan menyimak pesan atau nasihat Nabi SAW. Para sahabat memelihara hadits dari Nabi dengan menghafal dan menyampaikan dengan hati-hati kepada sahabat lain atau para Tabiin. Begitu juga para Tabiin, mereka memahami, memelihara, dan menyampaikan kepada Tabiin lain atau Tabi Tabiin (generasi sesudahnya).

A. PENGERTIAN ULUMUL HADITS

Ilmu Hadits (Ulumul Hadits), secara bahasa berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ilmu (ilmu).

Secara etimologis, seperti diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cra-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-adila-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya (1)

Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

1. Ilmu Hadits riwayah

Definisi ilmu hadits riwayah menurut itr, adalah Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafadz-lafadznya
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, Sahabat, dan Tabiin, yang meliputi:

~ Cara periwayatannya, yaitu cara penerimaan dan penyampaian hadits dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.

~ Cara pemeliharaan, yaitu penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits. Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang adalah(ke-adil-an) sanad, syad (kejanggalan), dan illat (kecacatan) matan.

Tujuan Ilmu Hadits riwayah adalah memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuan. Selain itu ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri tauladan, sesuai firman Allah SWT dalam Q.S Al Ahzab (33) :21 Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

2.  Ilmu Hadits Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah, biasa disebut Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, dan Qawaid At Tahdits. At Turmudzi mendefinisikan sebagai Undang-undang atau kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi, dan lain-lain.

Ulama yang lain mengatakan bahwa, Ilmu Hadits Dirayah adalah  Ilmu pengetahuan yang berisi tentang kaidah-kaidah unuk mengetahui keadaan sanad dan matan
Daridefinisi diatas, dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek Ilmu Hadits Dirayah adalah Sanad dan Matan. Dari segi sanad diteliti tentang keadilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan hadis. Dari segi matan, diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dapat disimpulkan bahwa, manfaat mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah:

~ Dapat mengetahui pertumbungan dan perkembangan Hadits dari masa Rasul SAW hingga sekarang.
~ Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits
~Dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipakai para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut
~ Dapat mengetahui istilah-istilah dan criteria hadits sebagai pedoman dalam mendapatkan suatu hokum syara.

Pembagian Tafsir Dari Segi Sumber, Metode dan Coraknya



I.              PENDAHULUAN

Setelah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui sahabat  didaerah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau mazhab tersendiri yaitu di Makkah, Madinah dan Irak.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadist namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadist, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadist dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn majjah, Ibn Jarir At-Thabari, Abu Baqar Ibn Al-Munzir An-Naisaburi dan lainnya. 

Berdasarkan keterangan di atas, maka penulis merumuskan pembahasan makalah ini dengan menganalisa tafsir menurut sumbernya, tafsir menurut metodenya dan tafsir menurut coraknya. 

II.           RUMUSAN MASALAH

1.             Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya
2.             Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya
3.             Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

III.        PEMBAHASAN

1.             Pembagian Tafsir Dari Segi Sumbernya

Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi Al-Ma’tsur dan Tafsir bi Al-Ra’yi

a.       Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan atau Sunnah sebagai sumber   penafsirannya. Contoh: 

1a)      Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karangan Abu Al-Fida’ Ismail bin Katsir Al-Qarsyi Al-Dimasyqi, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir. 
2b)      Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary. 
3c)      Tafsir Ma’alim Al-Tanzil, dikenal dengan sebutan Al-Tafsir Al-Manqul,  karangan Al-Iman Al-Hafiz Al-Syahir Muhyi Al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin Al-Farra’ Al-Baghawy Al-Syafi’i, dikenal dengan sebutan Imam Al-Baghawy.

b.      Tafsir bi Al-Ra’yi adalah tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya. Contoh: 

1)      Mafatih Al-Ghaib, karangan Fakhr Al-Din Al-Razi.
2)      Al-Bahr Al-Muhith, karangan Abu Hayan Al-Andalusi Al-Gharnathi
3)      Al-Kasysyaf’an Haqa’iq Al-Tanzil wa ‘Uyun Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil, karangan Al-Zamakhsyari.

2.             Pembagian Tafsir Dari Segi Metodenya

Para ulama Al-quran telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode penafsirannya menjadi empat macam, yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

a.       Metode Tahlili (Metode Analisis)

Secara bahasa, al-tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Maksudnya adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an. 

Metode Tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyikap seluruh maksudnya, mulai dari uraian, hingga sisi antar pemisah itu dengan bantuan Asbabul Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuannya ditunjukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini. 

b.      Metode Ijmali (Metode Global) 

Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar. Global dan penjumlahan. Maka dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. 

Metode Ijmali yang menafsirkan Al-Qur’an secara global. Dengan metode, ini muffasir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahwa yang mudah sehingga dipahami oleh semua orang, dari orang yanf berpengetahuan sekedarnya sampai kepada orang yang berpengetahuan luas. 

c.       Metode Muqaran (Metode Komparasi/perbandingan) 

Al-tafsir al-muqaran ialah yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi berbeda-beda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan. Juga termasuk ke dalam metode komporasi ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang selintas tinjau tampak berlawanan dengan al-hadis, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak bertentangan. 

Al-tafsir al-muqaran juga bisa dilakukan dengan cara membanding-bandingkan antara aliran-aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain, maupun perdandingan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian, maka bentuk-bentuk metode penafsiran yang dilakukan dengan cara perdandingan memiiki obyek yang luas dan banyak.

d.      Metode Maudhu’i (Metode Tematik)

Tafsir dengan metode maudhu’i adalah menjelaskan konsep Al-Qur’an tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbab Al-nuzul-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufasir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, secara aspek-aspek lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (maudhu’) tertentu di dukung oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasional. 

Demikian luasnya sudut pandang yang digunakan dlam metode tafsir ini, maka sebagian ulama menyebutnya sebagai metode yang paling luas dan lengkap, bahkan ketiga metode yang disebutkan sebelumnya, semuanya diterapkan secara intensif dalam metode ini.
Ciri utama metode ini adalah fokusnya perhatian pada tema, baik tema yang ada dalam al-quran itu sendiri, maupun tema-tema yang munccul ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, metode ini dipandang sebagai metode yang paling tepat untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia oleh karena itu ia dapat memberikan jawaban dengan konsep Al-quran terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.

Al-Farmawi mengemukakan tujuh langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan metode maudhu’i. Langkah-langkah yang di maksud adalah sebagai berikut: 

 a)      Memilih atau menetapkan masalah al-qur’an yang akan dikaji secara maudhu’i.
 b)      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat makkiyah dan ayat madaniyah.
 c)      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya atau sebab al-nuzul.
 d)      Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
 e)      Menyusun tema bahasa dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistematis.
 f)      Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadist bila dipandang perlu, sehingga pembahasan semakin sempurna dan jelas. 

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mensingkronkan ayat-ayat yang lahirnya terkesan kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.

3.             Pembagian Tafsir Dari Segi Coraknya

Corak penafsiran yang dimaksut dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya. Diantaranya sebagai berikut: 

a.         Tafsir Shufi/isyari, corak penafsiran ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir isyari.
b.         Tafsir Fiqhi, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqih ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur.
c.         Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bi Al-Ra’yi.
d.        Tafsir ‘ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘ilmiy ini juga termasuk tafsir bi al-ra’yi.
e.         Tafsir al-adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al=adab al-ijtima’i ini termasuk tafsir bi al-ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengategorikannya sebagai tafsir bi al-izdiwaj (tafsir campuran), karena presentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.